Hidayatullah.com–Lembaga Amnesty International pun mengecam dan menghimbau kepada pemerintah China untuk bertanggung jawab dan mengakui kezhaliman mereka pada peristiwa ini, namun China tak bergeming dan justru menyalahkan para demonstran sebagai biang keladi.
Amnesty International merilis sebuah laporan investigasi lapangan dengan kode arsip ASA17/001/2007 yang dilakukan oleh seorang wanita uighur dari anggota Kongress Nasional Republik China bernama Rebiya Kadeer.
Rebiya Kadeer yang saat ini hidup di Amerika dalam pengasingan ini pun turun langsung dan melakukan investigasi di sana untuk menguak fakta di balik peristiwa. Beliau tiba di Gulca tepat 2 hari pasca peristiwa, yaitu pada tanggal 7 Februari 1997 pagi dan setelah beberapa saat beliau berhasil menemui 30 keluarga Uighur sebagai saksi dan korban yang kurang lebih berjumlah 100 orang totalnya.

Beliau langsung menemui salah satu sahabat uighurnya di sana dan di sore harinya ia diajak untuk berkunjung ke rumah milik muslim uighur lain yangmana diketahui bahwa 2 anaknya telah dibunuh saat aksi damai 5 Februari beberapa saat lalu. Anak gadis orang tersebut pun juga ditangkap dan tidak diketahui bagaimana kondisinya dan dimana rimbanya.
Tepat di saat Rebiya hendak mewancarai keluarga tersebut, tiba-tiba saja personal militer China dan polisi mendobrak masuk dan menjambak orang tersebut lalu menendang dengan kuat, menghantamkan laras sepatunya. Semua diteriaki agar menunduk dan angkat tangan.
Baca: Pergolakan Muslim Uighur di Xinjiang dan Kebijakan Pemerintah China
Rebiya yang mencoba untuk berbicara dengan baik pun tak dipersilakan untuk bergerak ataupun bicara. Rebiya dilucuti pakaannya dan diperiksa. Kemudian setelah tak ditemukan apapun, pakainannya pun dikembalikan. Rebiya diberitahu oleh militer tersebut untuk pergi ke kantor keamanan terdekat bila ingin mengetahui info terkait.
Ia pun bergegas ke kantor polisi. Bukan jawaban yang ia dapatkan tapi justru untuk tidak menginvestigasi ataupun mendatangi rumah lainnya ancaman serta perintah pergi dari Kota Gulca secepatnya. Bila bersikeras, ia akan dijadikan pihak yang bertanggungjawab atas setiap warga yang akan dibunuh setelah menjadi informan kesaksiat untuknya dan bahkan bisa jadi dirinya sendiripun akan dibunuh bila kondisi semakin memburuk.
Setelah itu Rebiya keluar dari kantor polisi, di jalan ada seseorang misterius yang secara cepat melempar sebuah kertas di depannya. Dipungutnya kertas itu dan tulisannya meminta Rebiya mengunjungi pemukiman bernama Yengi Hayat. Rebiya pun bergegas ke sana dan ia dapati banyak sekali rumah-rumah terbuka pintunya dan tak ada satupun orang di dalamnya. Meja makan masih utuh dengan makanan dan hidangan. Ia coba meengetuk satu persatu rumah di sana, akan tetapi banyak yang kosong.
Rebiya akhirnya bertemu seorang muslim dari etnis Hui yang menceritakan bahwa kebanyakan tetangga Uighurnya dibunuh pada saat demonstrasi dan diangkut dengan truk tentara China.
Rebiya meminta muslim Hui ini untuk menunjukkan warga Uighur di situ yang masih ada, namun ia enggan karena mereka semua menghindar menggigil ketakutan. Akhirnya dia menunjukkan Rebiya seorang wanita sepuh muslim Uzbek berumur 60 tahun.
Wanita Uzbek ini bersikap santai meskipun ia tahu bahwa Rebiya diikuti dan diawasi oleh keamanan China. Ia pun mempersilakan Rebiya masuk dan menyuguhkan teh sembari bersaksi atas apa yang terjadi pada 5 Februari 1997 beberapa hari lalu.
Ia mengatakan bahwa polisi dan militer membawa banyak sekali jenazah, dan korban luka pukulan ataupun tembakan dalam muatan sesak truk tentara ke penjara di Yengin Hayat namun ia sama sekali tak melihat ada yang keluar dari sana.
Baca: Etnis Uighur Berkisah Penyiksaan dan Pemerkosaan di ‘Kamp Cuci Otak’ China [1]
Wanita Uzbek ini menjelaskan ada sekitar 1.000 an muslim Uighuryang dijebloskan penjara padahal penjara Yengin Hayat ini hanya berkapasitas 500 orang saja. Ia bersaksi bahwa banyak korban dikubur di tempat pembuangan sampah dan dibawa keluar kota agar tak tercium keberadaannya.
Rebiya pun menemui warga lain bernama Abdushukur Hajim yang menyaksikan demo damai itu dari kejauhan dan tidak ikut aktif di dalamnya. Ketika di rumahnya, Rebiya pun ditangkap kembali oleh pihak kepolisian dan Rebiya tetap saja kekeuh untuk melanjutkan investigasi.
Akhirnya pada penangkapan terhadap dirinya yang ketiga kali, ia diancam dan dihancurkan mentalnya dengan diperlihatkan footage video berisikan penyiksaan, penganiayaan brutal dan gila terhadap masyarakat muslim Uighur di Gulca. Ia melihat film horror itu dengan bergidik ngeri. Ia melihat bagaimana polisi dan militer China membawa anjing-anjing ganas meranggas badan para demonstran baik itu anak-anak maupun wanita. Kemudian, banyak anak kecil yang tersungkur dengan serangan gil anjing ganas tersebut. Hal itu diperparah dengan tembakan senjata pasukan keamanan.
Beberapa masih hidup, dan sebagian demonstran mati di tempat.
Video itu juga menampilkan adegan naas lainnya. Seorang gadis muda Uighur yang lari dan berteriak “Semetjan” memanggil manggil seorang lelaki yang sedang sekarat dan berlumuran darah diseret dalam bak truk tentara China. Ketika ia mendekat ke truk maka aparat China menembak dengan tepat kepala gadis muda ini dan menjambak rambutnya lalu melemparkan jasadnya ke truk tersebut di samping jasad lelaki yang ia teriaki tadi.
Dalam footage video lainnya ia juga diperlihatkan adanya tank di jalanan, dan penembakan terhadap bayi Uighur berumur 5-6 tahun dan seorang ibu-ibu yang menggendong anak. Ia melihat ada tiga macam tentara dengan seraga dan senjata berbeda. Rebiya melihat juga ada tentara yang berteriak; “Tembak ! Tembak !” Namun salah seorang tentara lainnya menimpali, “Jangan tembak!
itu China atau Uighur ? Jangan sentuh warga dari etnis China, tapi bunuhlah Uighur !”
Baca: Etnis Uighur Berkisah Penyiksaan dan Pemerkosaan di ‘Kamp Cuci Otak’ China [2]
Rebiya pun setelah mengalami penangkapan beruntun oleh pihak militer China Di Gulca pada saat investigasinya itu pun pulang ke Urumqi. Sepuluh hari pasca kepulangannya dari Gulca tersebut, ia didatangi oleh seorang wanita dan dua orang pria asal Gulca yang ingin memberikan laporan dan kesaksian nyata. Hal ini mereka lakukan lantaran mereka melihat bahwa China tidak hanya menzhalimi para demonstran saja tapi ke semua masyarakat Gulca. Salah satu dari ketiga orang tersebut pun menceritakan bahwa keanggotaan ayahnya dalam partai Komunis sebagai partai petahana pun tak menjamin keselamatan diri dan keluarganya. Maka dari itu ia bertekad memberikan kesaksiannya atas kekejaman China pada peristiwa 5 Februari 1997 itu sebelum ia diseret juga oleh China.
Ini adalah secuil saja dari fakta pelanggaran HAM yang amat berat yang dilakukan oleh pemerintah China. Adapun yang belum terkuak tentu jauh lebih mengerikan pastinya. Belum lagi dengan peristiwa lainnya seperti 5 Juli 2007 di Urumqi dan perlakuan-perlakuan lainnya sejak aneksasi China atas Turkistan Timur di tahun 1949 ini.
PBB dan semua negara di dunia harusnya ikut bertanggung jawab untuk mengusut tuntas dan memberikan intervensinya terkait kezhaliman dan kebiadaban China di Xinjiang.
“Sudah dua puluh tahun sejak para pemrotes Uighur yang damai turun ke jalan-jalan Ghulja untuk memprotes pembatasan keras terhadap keyakinan agama mereka dan diskriminasi terbuka yang dilakukan otoritas Tiongkok. Namun, dalam intervensi selama dua puluh tahun itu, alih-alih mencari cara untuk menangani keluhan Uighur, para pejabat Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan penindasan yang dihadapi orang-orang Uighur biasa, ”kata Direktur Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) Omer Kanat dalam sebuah pernyataan saat peringatan 20 tahun pembantaian Ghulja sebagaimana dikutip Turkistantimes,Februari 2017.
“Sampai negara China menerima perannya dalam pelanggaran HAM berat, kematian Ghulja akan tetap menjadi noda pada sejarahnya,” tambah Kanat.
Mengingat dunia sudah memasuki era globalisasi dan perdamaian pasca perang dunia kedua, adalah aib kemanusiaan di abad ke-20 jika pelaku kejahatan berat ini tidak segera di usut dan diberikan solusi demi tegaknya keadilan.*/Reza, mahasiswa Istanbul University program TÖMER