ISU soal perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali menyeruak ke publik. Khususnya setelah Aliansi Cinta Keluarga (AILA) bersama sejumlah akademisi mengajukan uji materi (Judicial Review) terkait pasal tentang LGBT ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua AILA Rita Hendrawaty Soebagio (47 tahun), mengatakan, ia dan kawan-kawan menghimpun banyak elemen umat Islam untuk bersama-sama menolak perilaku seks menyimpang.
“LGBT menjadi musuh bersama seluruh gerakan Islam, karena memang jelas dalam agama itu sebuah pelanggaran,” ujar Rita. [Baca juga: “Atas Nama Cinta dan HAM, Bolehkah Anak Menzinai Ibunya?”]
Buru-buru Rita mengingatkan bahwa LGBT sesungguhnya hanyalah turunan dari gerakan feminisme dan kesetaraan gender ala liberal Barat.
Indonesia pun kini tengah dilanda persoalan yang begitu besar. Rita mencontohkan, selain LGBT, berbagai kasus serta persoalan miras dan pornografi membawa Indonesia dalam kondisi darurat adab dan moral.
Mengupas soal itu, hidayatullah.com mewawancarai Rita di kediamannya daerah Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu. Berikut sebagian hasil wawancaranya!
Anda mengatakan Indonesia dalam kondisi darurat adab dan moral. Bagaimana gambarannya?
Banyak fakta dan data yang memprihatinkan, yang pada ujungnya menjelaskan ada problem adab dan moral di tengah masyarakat kita. Tak hanya pada anak-anak, tapi hampir di semua lapisan.
Salah satu alasan lahirnya AILA adalah karena kegelisahan akan adanya problem tersebut. Menurut kami, problem itu lahir dari disfungsi keluarga. Ayah yang tidak berperan, ibu yang tidak berperan, akhirnya anak yang menjadi korban.
Terlalu banyak dan lelah membahas hal-hal yang tidak bermoral itu. Namun, kami terus bergerak dalam dua sisi: pertama, membina keluarga agar bisa sakinah, mawaddah, warahmah. Kedua, mendeteksi secara dini pemikiran yang merusak proses pembinaan keluarga. Salah satunya pemikiran feminisme liberal.
Dengan gawatnya situasi tersebut, langkah-langkah apa yang harus dilakukan?
Permasalahan kita sudah dari hulu ke hilir. Kita perlu membuat pemetaan masalah bersama-sama. Itulah makanya saya mendorong lahirnya Gerakan Indonesia Beradab (GIB), tempat berkumpulnya 200 lebih akademisi yang mempunyai kepedulian dan bergerak di bidang pemikiran. Itu pun ternyata tidak mudah untuk merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan.
Tapi tampaknya sudah mendulang sukses ketika “memukul” LGBT…
Memang saat ini kita menjadikan (LGBT) itu musuh bersama. Menyatukan ormas Islam pun mudah ketika itu. Tapi ketika ini sudah selesai, ya selesai juga. Padahal ada hal lain yang lebih besar di balik itu yang juga harus diselesaikan.
Apakah pemetaan itu sudah dilakukan?
Saya mendorong GIB untuk melakukan hal itu. GIB tak perlu ke ranah aksi. Sementara kami di AILA mengambil posisi untuk mengawal di legislasi, karena memang tidak banyak yang melakukan itu. Salah satunya perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami dituntut untuk membuat naskah akademik dan RUU alternatif yang akan diadu dengan yang diajukan oleh Komnas Perempuan.
Anda yakin bisa menang melawan itu dengan kondisi seperti ini?
Alhamdulillah, teman-teman para pemikir dan akademisi bersedia terlibat dalam pembuatan naskah akademik. Saya bilang, kita tetap harus realitis, karena mereka sudah melobi sejak bertahun-tahun.
Ini hanya ikhtiar saja, karena ini bagian dari nahi munkar. Apa pun hasilnya. Meski nanti akhirnya mengambil jalan tengah, paling tidak kita tidak kelolosan sama sekali.* Mahladi, Ahmad, SKR