Sambungan dari kisah pertama
MEMILIH mengabdi di tanah Papua berarti siap dengan segala risikonya. Selain alamnya yang terkenal ekstrem, Anugrah juga harus siap kekurangan pasokan makanan.
Bukan cuma itu, listrik dan jaringan telepon juga tidak ada. Awal-awal betugas di Papua, Anugrah merasa berada di dunia lain.
Anugrah bukan mantri biasa. Selain bertugas mengobati pasien, membantu persalinan, Anugrah juga seorang guru mengaji.
Jika tidak ada pasien, Anugrah memanfaatkan waktunya untuk mengajar anak-anak dan orang dewasa mengaji. Jika masuk waktu shalat, Anugrah lebih sering menjadi imam. Bahkan dia kerap tampil sebagai penceramah dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti Maulid Nabi, khutbah Jumat hingga khutbah Id.
Anugrah dikenal total dalam bertugas. Dalam melayani pasien, ia tidak membedakan suku dan agama. Tidak heran jika pria kelahiran 16 November 1986 ini sangat disenangi masyarakat bahkan di usianya yang masih muda.
Anugrah pun telah dipandang sebagai tokoh. Jika ada pertemuan-pertemuan, tidak lengkap rasanya jika tidak mengundangnya.
Di Kaimana, Anugrah bertugas melayani tiga pulau. Jarak pulau yang satu dengan pulau yang lain, butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan laut untuk menempuhnya.
Setiap kali mengunjungi pulau lain, tawakkalnya harus mantap, berserah dirinya kepada Allah harus total. Mengingat jalur yang dilewati adalah Tanjung Nabima yang dikenal sangat ekstrem dan telah menelan banyak korban.
Namun baginya, meninggal dalam keadaan tugas merupakan syahid, dan itu merupakan cita-cita tertinggi orang Islam.
Selama bertugas di Teluk Etna, Kaimana, Anugrah mengalami banyak sekali pengalaman. Ini salah satu pengalaman yang tidak pernah ia lupakan.
Ketika sedang bertugas mengunjungi sebuah kampung, perahu yang ia tumpangi tiba-tiba terbalik. Semua peralatan medis basah. Ia pun harus berenang sambil menarik tali perahu ke pinggir.
Anugrah juga pernah kedatangan pasien dari desa tetangga. Pasien ini cukup parah akibat terserang wabah malaria. Bahkan ia harus ditandu karena tidak mampu berjalan.
Setibanya di kediaman mantri Anugrah, pasien itu minta segera diobati. Anugrah kalang kabut. Persediaan obatnya benar-benar sudah habis, karena baru saja di desanya terserang wabah malaria.
Anugrah tahu betul watak orang Papua. Sehingga, jika ia mengatakan obat habis dan menyuruh sang pasien pulang, sangat tidak mungkin. Bisa-bisa masalahnya semakin rumit.
Anugrah tidak putus asa. Dia terus mencari cara agar pasiennya bisa tertangani. Di rumahnya tidak ada apa-apa kecuali air mineral. Diam-diam ia mengambil spuit (alat suntik), lalu memasukkan air mineral ke dalamnya, dan segera menyuntikkannya ke pasien.
Anugrah sadar, ia bisa dituntut. Karena mungkin dianggap telah melakukan mal praktik, jika pasiennya semakin parah akibat menyuntikkan air mineral dalam tubuhnya. Kenyataanlah yang memaksanya begitu.
Tapi Anugrah tak asal “mengobati”. Sebelum menyuntik pasien, ia terlebih dahulu membaca surah Al Fatihah, sambil memberi sugesti bahwa bukan obat yang menyembuhkan, melainkan Allah.
Ajaibnya, pasien tersebut benar-benar merasa sehat dan pulang dengan berjalan kaki. Masya Allah! La haula wala quwwata illa billah!
Anugrah bukanlah sosok kacang lupa kulitnya. Apa yang ia rasakan saat ini, tidak terlepas dari hasil pembinaan ustadz-ustadznya di Yayasan Al-Bayan, Bumi Tamalanrea Permai, Makassar.
Tiga tahun lamanya menjadi santri di Al-Bayan, sudah sangat cukup untuk membentuk karakternya. Lewat pembinaan ala pesantren itu, mental Anugrah sangat teruji.
Setiap kali mendapatkan tantangan di tempat tugas, dia selalu mengingat cerita ustadznya ketika mendapatkan tantangan dalam berdakwah.
Pengalaman dakwah dai Hidayatullah yang begitu berliku sering ia dengar lewat ceramah-ceramah, membuatnya selalu termotivasi dalam menjalankan tugas. Anugrah seakan menjadi anugerah kemerdekaan RI yang sudah ke-71 tahun ini.* Arvah Bandule, pegiat komunitas menulis PENA Makassar