Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Qosim Nurseha Zulhadi
Fatwa MUI mengenai pelecehan Gubernur DKI ayat Al-Quran QS.5:51 yang sangat “menyengat” orang-orang yang tak suka kepada MUI dan ulama’ memang sangat tepat waktunya. Selain pada tahun 2005 fatwa yang sangat “mengigit” juga pernah keluar mengenai ‘haramnya’ Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SePILIS). Kedua fatwa ini ternyata banyak diserang oleh kaum liberal dan anti-MUI. Sampai-sampai ada yang menyebut MUI “tolol” – konon namanya Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis JIL. Namun kemudian dia mencabut pernyataannya. Karena dalam fatwanya MUI mengharamkan Ahmadiyah. Menurut Ulil argumen fatwa MUI konyol, tidak masuk akal, dan tolol. (lihat: www.news.detik.com, “Ulil Cabut Pernyataan MUI Tolol”, Jum’at, 5/8/2015).
Nah, sikap dan fatwa MUI kali ini pun demikian: dicela, diserang, bahkan opini digalang untuk melakukan delegitimasi MUI. Ini tentu harus dilawan. Caranya adalah dengan mengawal dan membawa fatwa yang sangat tegas dan argumentatif itu.
Nah, ketika sikap MUI sudah diambil dan disampaikan ke tengah-tengah ummat Islam, apa yang harus kita kerjakan? Jawabannya: seluruh elemen ummat dan kekuatan mereka harus difokuskan kepada sikap dan keputusan MUI ini. Karena mereka adalah rujukan hukum agama yang sah dan legal di Indonesia. Sikap mereka harus didukung, dikuatkan, dan dikawal. Mengapa harus dikawal?
Karena sejak sikap itu dikeluarkan, suara-suara sumbang dari kalangan SePILIS (Sekularis, Pluralis, dan Liberalis) hampir setiap saat menyerang sikap ini. Tuduhan kepada MUI pun macam-macam. Ada yang mengatakan kemunduran. Ada juga yang mengatakan akan memecah-belah kebangsaan. Bahkan ada yang mengatakan itu sebagai anti-Pancasila. Bahkan, sudah ada kelompok yang menggalang petisi untuk bubarkan MUI.
Sejatinya, orang-orang yang besuara sumbang itu adalah minoritas: tidak banyak. Tapi karena disebarkan lewat media – apalagi medos – maka dapat menyebar secara massif. Dan tidak semua mereka juga paham apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Apa maksud dari Pancasila pun kebanyakan mereka sepertinya tak mendalami. Belum lagi tentang silanya: mengapa harus Ketuhanan yang Maha Esa (bukankah ini Tauhid?); Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (bukan kata “adil” dan “adab” adalah konsepsi Islam?); Persatuan Indonesia (tidakkah ini mencerminkan hebatnya ukhuwwah wathaniyyah kita?); Kemanusiaan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam permusyawaratan perwakilan (bukan kata “hikmah”, “musyawarah”, dan “wakil” adalah murni konsep Al-Quran?); dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (bukankah ini konsep ‘sosialisme’ Islam, yang pernah dijelaskan oleh Sayyid Quthb, Syekh Musthafa as-Siba’i bahkan oleh Buya Hamka?).
Kita sebagai Muslim sudahkah memahami bahwa Pancasila itu sangat Islami? Kalau demikian, yang paham Pancasila sebenarnya siapa? Yang konsisten dan konsekuen membela bangsa ini berikut pilar-pilarnya sejatinya siapa kalau bukan Muslim? Mari kita lihat daftar dan deretan nama-nama Pahlawan Nasional: siapa mereka semuanya? Mereka adalah para ulama’. Lalu mengapa sekarang banyak orang menuduh sikap ummat Islam yang menuntut keadilan di tengah-tengah kehidupan sosial mereka dituduh rasis? Dituduh akan pecah-belah keutuhan NKRI dan lain sebagainya.
Jangan-jangan memang benar adalah orang-orang yang sedang memancing kemarahan ummat Islam. Ketika mereka terpancing dan marah, mereka pun serentak ngomong: “Benar bukan, ummat Islam adalah rasis, pemarah, radikal, kasar, dan merusak keutuhan bangsa!”
Bukan kasus sederhana sudah mulai puncul pasca Aksi Damai pada Jum’at (14/10/2016) lalu? Konon katanya taman bunga di Balai Kota rusak. Kemudian mulai cari-cari alasan bahwa itu ulah para demonstran yang tuntun Ahok untuk diadili secara adil lewat jalur hukum. Tapi marilah kita bandingkan kerusakan pada Jum’at yang lalu – jika benar itu ada – dengan beberapa kerusakan hebat dan lebih besar berikut:
- Usai pelantikan Jokowi-Ahok, Taman DPRD DKI Rusak dan Penuh sampah (2012);
- Malam Tahun Baru di Jakarta Sisakan 700 Ton Sampah;
- Tanggungjawab Siapa Sampah Pelantikan Jokowi-JK? (2014);
- Taman Monas Rusak, Ahok tak Minta Pertanggungjawaban Jokowi (2014);
- Sampai pesata Pelantikan Jokowi Diprediksi capai 100 Ton; dan
- JNF (Jakarta Night Festival) dan Jakarnaval Sisakan sampai 24 Ton.
Marilah kita jujur pada diri sendiri, agar bisa jujur kepada orang lain. Bersikap adillah, kata Allah, karena sikap adil itu membawa kepada ketakwaan (Qs. 5: 8). Maka, sekali lagi, apa yang disampaikan oleh MUI mengenai penghinaan terhadap Qs. 5: 51 sudah tepat, final, dan mengikat sikap ummat. Maka tugas ummat ini untuk mengawalnya. Jangan sampai kita dilemahkan oleh orang-orang yang tak suka kepada ketegasan MUI dan para ulama’ kita yang sangat kita cintai. Sungguh tidak sopan jika kita (yang ilmunya terbatas) mencela MUI dan membela orang yang jelas-jelas menghina dan menista Al-Quran dan agama kita. Ini namanya dungu, bahlul, bahkan bisa disebut hipokrit alias munafiq. Wallahu Aʻlam bis-Shawab.*
Penulis adalah Pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (2012) dan “Jejak Sofisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia” (2016)