Oleh: Riki Faishol
DEWASA ini, pesatnya perkembangan pola pikir masyarakat mampu mengubah ideologi setiap individu masyarakat secepat kilat seperti membalikan telapak tangan.
Tak dapat dipungkiri bahwa faktor terbesar revolusi ini adalah media baik cetak maupun elektronik, dimana media mampu menyebarluaskan informasi secepat kilat dan mampu mengubah ideologi masyarakat dalam memahami konsep kehidupan.
Di abad milenium ini, semua hal negatif yang berkaitan dengan agama Islam mampu mencuri perhatian lebih untuk terus dikaji, bahkan memunculkan stigma negatif dari pemeluk agama lain hingga muncul perspektif bahwa Islam-lah sumber terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme.
Apakah seperti itu benarnya? Apakah Islam biang keladi dari semua ini? Tentu bukan, justru Islam lah yang berlabel rahmatan lil alamin yang mengajarkan sebaliknya, Islam mengajarakan sikap tasamuh, tawasuth, dan tawazun serta berbuat baik kepada sesama.
Moderat
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, moderat bermakna 1) berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah: 2) Selalu menghindarkan prilaku atau pengungkapan yang ekstrim. Sementara itu, istilah moderat, bagi kalangan Islam juga masih dianggap banyak masalah dan mengandung distorsi.
Dr Adian Husaini dalam bukunya “Memahami Makna Muslim Moderat” memaknai kata moderat dengan baik dan adil. Dan begitu juga al imam Al-Qurthubi dalam tafsir Jami’ul Ahkamil Qur’an menafsirkan kata wasath (moderat) dalam surat Al-Baqarah dengan makna adil dan ditengah-tengah karena sebaik-baiknya sesuatu itu pada pertengahannya.
Bukan Radikal
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua diindonesia memiliki daya tarik tersendiri dan ciri khas yang tak dapat disaingi oleh lembaga pendidikan manapun.
Sistem yang baik dan terorganisir mampu mempertahankan eksistensi pesantren hingga saat ini. Kurikulum pesantren yang terfokus pada pendalaman ilmu-ilmu agama menjadi daya tarik masyarakat untuk mempercayakan anaknya pada pendidikan pesantren.
Karakter pesantren yang selalu mengajarkan santrinya akhlaak alkariimah dan mengajarkan untuk berpegang teguh pada akidah yang diyakininya mampu membawa dan menjaga panji-panji agama Islam hingga saat ini.
KH. Sahal Mahfudz dalam sebuah seminar “Memahami Karakter Islam di Pesantren” Yogyakarta 2005 beliau berpandangan ada empat karakter yang dimilki pesantren yaitu: 1) Teguh dalam hal aqidah dan syari’ah; 2) Toleran dalam hal syari’ah dan tuntunan sosial; 3) Memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap sesuatu permasalahan sosial; 4) Menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai panduan sikap dan perilaku keseharian.
Banyak orang yang mengakui bahwa eksistensi pesantren sebagai agen perubahan (agent of change) bagi masyarakat dalam diskursus global diharapakan mampu menjadi struktur mediasi yang mampu memahami persoalan-persoalan yang mucul dalam masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama membentuk civil society.
Karena lembaga pendidikan inilah yang “ramah” dengan masyarakat, pada ranah sosial-budaya, politik, ekonomi, lembaga ini juga mampu berperan sebagai lokomotif dan dinamisator dalam mengawali perubahan. Sudah banyak pesantren di Indonesia ini yang memiliki karakter seperti ini.
Maka patut kita jaga dan lestarikan karakter dan model pesantren seperti ini agar jauh dari stigma negatif dan intervensi oknum lain yang ingin mendiskreditkan Islam melalui pesantren.
Pendidikan pesantren sejatinya lebih menekankan kepada kemandirian para santri untuk mengarungi kehidupan. Lebih lanjut pendidikan pesantren juga sering dikenal dengan pendidikan yang mengajarkan syiar-syiar agama Islam kepada santri dan masyarakat.
Dunia pesantren yang mengajarakan para santri bijak dalam mengambil keputusan, selalu menerima perbedaan, dan bersikap moderat merupakan salah satu modal para santri untuk terjun di masyarakat. Implementasi kurikulum dan aktualisasi konsep pesantren yang terorganisir mampu mencetak para cendekiawan muslim moderat yang mampu bersikap adil dan bijak dalam setiap keadaan.
Sebagai contoh, di pesantren diajarkan kurikulum fiqh muqaran (fiqih perbandingan mazhab) dimana kurikulkum ini mengajarkan para santri bagaimana menghargai sebuah perbedaan, menerimanya, dan menolaknya dengan argument yang kuat tanpa harus mencederai lawan.
Artinya, pesantren mengajarkan kepada santri untuk bersikap adil dan bijak dalam menerima sebuah perbedaan dan tidak terjerumus kepada fanatisme yang berlebihan.
Namun semakin hari keharmonisan dunia pesantren mulai goyang seiring adanya intervensi politik internasional terhadap pendidikan Indonesia terkhusus pendidikan agama Islam yang ada di dunia pesantren.
Sebagai intitusi yang mengemban amanah mempertahankan syariat Islam pesantren sekarang sedang menuai badai tuduhan bahwa pesantren sebagai wadah kaderisasi terorisme. Mereka membabi buta dan menuduh gerakan Islam radikal dan fundamentalis sebagai munculnya akar terorisme di Indonesia.
Terlebih lagi jika persoalan ini dibenturkan dengan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang dituduh sebagai wadah kaderisasi teroris yang lekat dengan budaya kekerasan, yeng merupakan antitesis dari orientasi agama Islam.
Maka disinyalir, wacana dan stigma ini hanyalah upaya dunia Barat untuk mendiskreditkan Islam dan hanya sebuah strategi barat untuk menghegemoni dunia Islam.
Pergerakan isu yang dipelopori oleh dunia Barat ini mampu mencuri perhatian lebih terhadap dunia Islam. Pergerakan isu yang masiv mampu memprovokasi masyrakat Indonesia untuk meragukan pesantren dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam.*>>> klik (BERSAMBUNG)