Pesona-Mu
tlah ajariku jalan cinta
Aku keturunan Ibrahim
Kan kutemukan jalanku
melalui api
~Rumi~
PUISI gubahan Jalaluddin Rumi itu cukup bernas, ia tidak saja indah, namun juga memanggil memori sejarah tentang para pembawa risalah berjibaku menumbangkan kebatilan, sehingga bukan saja kesan indah yang dihadirkan oleh puisi itu, tetapi juga gelora iman yang bak api tersiram bahan bakar mesin roda empat, roda dua.
Dan, demikian itu telah terjadi di masa Islam lahir dan menaklukkan dunia. Hugh Kennedy dalam karyanya The Great Arab Conquests menulis, “Semenanjung Arab begitu luas. Garis lurus dari titik tenggara tanah Arab di Ra’s al-Hadd di Oman sampai ke Aleppo di sudut barat laut di gurun pasir Suriah panjangnya lebih dari 2.500 kilometer.
Dengan mengandalkan tansportasi hewan, perjalanan di sepanjang rute ini memakan waktu lebih dari seratus hari perjalanan tanpa henti. Koordinasi antara penduduk dan balatentara dalam jarak yang sangat berjauhan tidaklah mudah, dan itu adalah keadaan khusus pada masa awal penaklukkan Islam yang mungkin dilakukan.”
Namun, jarak yang tidak sebentar ditempuh kala itu, berhasil ditaklukkan oleh kekuatan umat Islam, bahkan jauh melampaui apa yang membuat para sejarawan dunia menggeleng-gelengkan kepala, bagaimana umat Islam mampu melakukan penaklukkan secara spektakuler yang belum pernah dicapai oleh agama dan peradaban manapun di dunia ini.
Seorang komandan perang Kristen yang takluk oleh tentara Thariq bin Ziyad di Andalusia di bawah pimpinan Roderic mengirim surat, “Kami tidak tahu, apakah mereka yang masuk ke negeri kita adalah manusia langit atau manusia bumi.”
Hugh Kennedy melanjutkan pengakuannya, “Jelas ada kekuatan kontrol sampai batas tertentu dari pusat. Komandan ditunjuk dan diberhentikan oleh perintah khalifah, tidak ada contoh dalam literatur tentang komandan yang memberontak otoritas atau menolak perintah. Ini berbeda sama sekali dengan Kekaisaran Romawi dan Sasania, yang pada waktu berbeda secara efektif dilumpuhkan oleh pemberontakan para jenderal serta gubernur terhadap pemerintahan mereka.”
Demikianlah api telah menempa kaum Muslimin, penolakan Kaum Quraisy juga membuat umat Islam terlatih dalam menghadapi pertempuran.
Rasulullah sendiri tidak kurang dari 26 kali memimpin perang di medan jihad. Sebuah tahapan hidup yang sangat keras yang menjadikan umat Islam memiliki etos jihad luar biasa.
Hugh Kennedy yang seorang Guru Besar Fakultas Kajian Asia dan Afrika dari Universitas London Inggris itu menyampaikan, “Orang-orang Islam di masa awal tidak memiliki senjata rahasia, tidak pula menguasai teknologi militer baru untuk menguasai. Kelebihannya hanyalah pada mobilitas, kepemimpinan yang baik dan, mungkin yang paling penting, motivasi dan moral yang tinggi.”
Namun, bukan Islam jika tak sempurna. Api jihad yang mendorong Islam bersinar ke seluruh penjuru bumi juga melahirkan mutiara-mutiara mahal sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.
Bahkan mutiara itu lahir bukan dari bangsa Arab, melainkan keturunan dari bangsa-bangsa yang disinari cahaya Islam.
Ada Imam Ghzali, Ibn Katsir, Ath-Thabari, Thariq bin Ziyad, Imam Bukhari, Fakhruddin Al-Razi, Ibn Hazm dan lain-lainnya. Mereka adalah para ilmuwan yang tidak saja menjadi pionir tetapi juga lentera dalam jagad keilmuan umat manusia hingga sekarang.
Benar yang disampaikan oleh Sayyidina Ali Radhiyallahu anhu, bahwa “Tidak akan mati orang yang menghidupkan ilmu.” Terbukti, siapapun dan dari bangsa manapun, jika mencintai ilmu dan menghidupkannya, namanya akan harum berkibar dan menerangi kehidupan umat manusia.
Usah jauh-jauh kepada mereka yang memang berkontribusi luar biasa, dalam kasus penistaan agama, Buya Hamka dengan penjelasannya tentang Ghirah seolah-olah ikut hadir, berorasi dan mendorong umat Islam mendesak hukum bisa ditegakkan kepada siapapun, terutama dia yang menista agama.
Api itu kembali hadir, membakar eksistensi umat Islam, sehingga semua rapi, tertib, langsung kompak dalam satu komando sang pewaris Nabi. Seperti diungkapkan Rumi dalam baitnya yang lain, “Kebenaran membuat hati bungah seperti air menyapu dahaga.”
Dan, seperti ditegaskan oleh pemikir yang seorang ahli sastra modern dari umat Islam, Muhammad Iqbal yang mengatakan, “Bangkitlah, ciptakan dunia baru. Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah seorang Ibrahim. Jangan mau tunduk kepada apa pun kecuali Kebenaran. Ia akan menjadikanmu seekor singa jantan.”
Kini, bibit-bibit kembalinya jati diri Islam dalam tubuh umat Islam telah hadir, menggelora dan menyatukan jutaan hati kaum Muslimin di NKRI dengan langkah dan tujuan yang sama, menuntut keadilan.
Bersatulah, lahirkan gelombang pembaharuan demi terwujudnya keadilan dan kemaslahatan bagi segenap umat manusia. Sebab kematian bagi Muslim bukanlah akhir segalanya, tetapi awal bertemu dengan Yang Maha Pengasih yang Maha Tinggi. Allahu Akbar.*
Penulis adalah sekretaris Pusat Kajian Kepemimpinan Indonesia atau Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL)