SOAL besarnya cinta orangtua kepada anak, tak usah diragukan. Bahkan, mereka bersiap mengorbankan apapun, demi kebahagiaan sang buah hati.
Jangankan harta. Nyawa pun rela dipertaruhkan. Wa bil khusus, bagi ibu. Perasaan ini, selain menjadi kekuatan positif bagi perkembangan anak. Juga berpotensi menjadi kelemahan.
Letaknya. Pertama; ketika orangtua tidak mampu mengontrol rasa kasih sayangnya. Yang kedua; tidak ada pondasi agama yang melandasi rasa cintanya.
Ketika kedua hal ini hilang, maka yang terjadi; orangtua mencintai anak secara membabi buta. Tidak ada arah. Pijakannya hanyalah perasaan dan pandangan pribadi.
Padahal, inilah yang tak sedikit membuat orangtua, menjerumuskan anaknya, secara tidak sadar, ke jurang kehancuran. Misal, dengan memberikan/memenuhi segala keinginan anak. Apapun itu. Dengan dalih, kasihan kalau tidak dipenuhi. Biar tidak terus merengek.
Soal gagdet misal. Kecil-kecil sudah fasilitasi secara pribadi. Jadilah anak candu game. Gila medsos. Waktu pun hilang begitu saja. Tanpa arti.
Padahal, bila kita perhatikan jejak orang shaleh, dalam mendidik anak mereka. Maka didapati, bahwa kasih sayang kepada anak itu, tidak melulu harus meninabobokan anak.
Bahkan, terkadang harus rela ‘menyakiti’ mereka, demi kebaikan di masa mendatang. Terutama terkait dengan ketundukan kepada Allah.
Itulah di antara pelajaran lain, yang kita dapatkan dari perjalan Nabi Ibrahim Alaihissalam, terkait dengan syariat ibadah qurban.
Coba bayangkan. Ayah mana yang tega menyembelih anaknya sendiri. Anak semata wayangnya lagi. Yang sudah lama dinanti. Hendak disembelih dengan tangannya sendiri.
Tapi itu tadi. Demi sebuah ketundukan kepada Allah, itu semua harus dilakukan.
Disingkirkan ego kebapakannya. Karena ini semua demi kebaikan sekeluarga. Dan akhirnya, ujian itupun sukses dilalui.
Kini, untuk para orangtua masa kini. Sudahkah kita meneladani Nabi berjuluk Khalilullah ini, dalam mendidik anak. Tega memutus kesenangan mereka bermain game, demi menghafal al-Qur’an. Atau belajar yang lainnya.
Tega membangunkan mereka dari persemayaman, ketika azan subuh telah berkumandang, untuk menegakkan shalat subuh.
Bahkan, berpisah dengan mereka. Untuk kurun waktu nan lama, demi mereka mempelajari ilmu-ilmu agama. Di pesantren atau di manapun juga.
Kiranya kalau rasa ini belum ditumbuhkan dan dipupuk, sulit rasanya melahirkan ‘Ismail-Ismail’ baru di era melenial ini. Wallahu ‘alam Bish-Shawab.*
Khairul Hibri | Ketua PENA Jawa Timur