Oleh: Abdullah Nafi’ Adhuha
PERNAHKAH terbayang menjadi orang yang dekat dan lengket dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah bersabda, ”Orang yang paling aku cintai dan paling dekat padaku di antara kalian di akhirat kelak adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling kubenci dan paling jauh dariku di akhirat adalah orang yang paling buruk akhlaknya, yaitu orang yang banyak bicara, suka ngobrol, dan suka melecehkan orang lain.” (HR. Ahmad)
Sungguh beruntung jika ada orang bisa berdekatan dengan Rasulullah, apalagi menjadi bagian dari keluarganya.
Itu baru berdekatan dengan Rasulullah, bagaimana jika ada di antara kita menjadi “keluarga Al-Quran”?
Ya, benar, menjadi “keluarga Quran”. Sebagaimana Rasulullah bersabda;
إِنَّ أَهْلَيْنِ مِنَ النَّاس. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ القُرْآنِ أَهْلُ للهِ وَخَاصَتُهُ
“Sesungguhnya Allah memiliki kerabat dari manusia. Dikatakan, ‘Siapa mereka wahai Rasulallah?’ Beliau menjawab, ‘ahlu al-Qur’an, mereka adalah ahlullah dan orang-orang dekatnya.” (HR. Ibnu Majah, no. 215)
Belum lama ini, penulis mendapati sebuah status milik salah seorang pengguna Facebook di wall-nya. Ia menuliskan, “Menghafal al-Qur’an bukan masalah kepintaran tapi masalah keimanan”. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa siapa yang memiliki keimanan yang kuat (benar) bisa saja orang tersebut dapat menghafal al-Qur’an dengan sempurna.
Membaca status tersebut, membuat penulis tersenyum. Kenapa? Karena penulis mengenal dengan baik sosok pemilik status tersebut. Seorang santri tingkat SMP dengan hafalan paling banyak (11 juz) di sekolahnya. Dan perlu diketahui, ia adalah santri dengan prestasi akademik peringkat 3 terbawah di kelasnya.
Tentunya dengan profil yang demikian, membuat hati ini tersenyum ketika membaca status tersebut.
Begitu kuatnya ia berpegang pada keyakinannya bahwa menghafal al-Qur’an bukan soal kecerdasan intelektual semata. Dalam artian, kecerdasan intelektual bukan faktor utama seorang mampu menghafal al-Qur’an.
Penulis pun teringat dengan Fajar Abdulrokhim Wahyudiono, seorang hafidz kecil yang menderita cerebal palsy (lumpuh otak). Sebagaimana dikutip sebuah koran nasional, ahli fisioterapis pediatri yang membantu Fajar selama tumbuh kembangnya menceritakan Fajar sejak bayi sudah terbiasa didegarkan al-Qur’an oleh orangtuanya. Sehingga ia bisa hafal Qur’an. Dia kuat di hafalan namun lemah di matematis. (Republika.co.id, Rabu 7/10)
Dengan keyakinan yang kuat yang dimiliki Fajar dan ayahnya pada akhirnya Allah memudahkan Fajar menjadi hafidz al-Qur’an.
Fajar, bocah yang lahir pada 2 Oktober 2003 ini telah membuktikan bahwa tidak ada satupun halangan untuk menjadi seorang penghafal al-Qur’an.
Ada dua pesan yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini;
Pertama, bahwa sekali lagi, menghafal al-Qur’an itu bukanlah soal kecerdasan intelektual semata ataupun tentang kesempurnaan fisik. Sehingga banyak sekali anggapan bahwa menghafalkan al-Qur’an itu sulit. Faktanya, dalam setiap masa tidak sedikit orang yang hafal al-Qur’an dengan kondisi yang beragam. Dua profil yang telah disebutkan di atas cukuplah memberikan gambaran.* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar Rahmah Hidayatullah Malang. Email: [email protected]