Hidayatullah.com–Raja Yordania Abdullah II memberitahu ‘Israel’ hari Ahad bahwa ia tidak akan memperbarui dua lampiran perjanjian damai 1994 antara ‘Israel’ dan Yordania mengenai wilayah yang disewakan kepada ‘Israel’.
Dalam pertemuan dengan para pejabat senior Yordania di istana Amman, raja mengatakan bahwa pemerintah Yordania menyampaikan sebuah pesan resmi kepada ‘Israel’ tentang masalah ini.
Wilayah yang dimaksud dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Baqura dan al-Ghamr, dan Naharayim dan Zofar (Ibrani).
“Baqoura dan Ghumar berada di puncak prioritas kami,” King Abdullah melalui twitter. “Keputusan kami adalah mengakhiri lampiran Baquoura dan Ghamar dari perjanjian damai karena kesungguhan kami untuk mengambil semua keputusan yang akan melayani Yordania dan rakyatnya,” ujarnya dikutip Koran ‘Israel’ Ha’aretz.
Penjajah ‘Israel’ dan Yordania menandatangani perjanjian damai pada tahun 1994. Termasuk dalam perjanjian adalah tanah Baqoura (Naharayim) dan Ghumar (di wilayah Arava) ke Tel Aviv dalam kontrak sewa selama 25 tahun. Batas waktu untuk memperbarui sewa ditetapkan hari Kamis, 25 Oktober pekan ini.
Baca: Raja Abdullah: Yordania akan Tetap Berperan sebagai Pelindung Situs Suci Baitul Maqdis
Naharayim terletak di sebelah selatan Danau Kinneret, di utara ‘Israel’, sementara Zofar berada di selatan Laut Mati, di bagian selatan negara itu. Keduanya terletak di perbatasan Yordania-’Israel’.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bereaksi terhadap pengumuman pada hari Ahad, mengatakan ‘Israel’ berniat untuk bernegosiasi dengan Yordania untuk memperpanjang sewa. “Tidak ada keraguan bahwa perjanjian itu merupakan aset penting,” katanya pada peringatan mendiang PM Yitzhak Rabin, menambahkan kesepakatan damai dengan Yordania dan Mesir adalah “jangkar stabilitas regional.”
Raja Abdullah II telah menghadapi tekanan berkelanjutan dari parlemen Yordania untuk tidak memperbarui sewa, dan untuk mengembalikan wilayah ke kedaulatan penuh Yordania. Delapan puluh tujuh anggota parlemen juga telah menandatangani petisi tentang masalah tersebut.
Jumat lalu, para pengunjukrasa berbaris di Amman menuntut agar Jordan merebut kembali kedaulatan atas wilayah-wilayah yang dipermasalahkan, dengan beberapa menuntut Jordan membatalkan seluruh perjanjian damai dengan ‘Israel’.
Pada bulan September, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa tim perdamaian Trump telah menawarkan kepadanya rencana politik berdasarkan pembentukan konfederasi Palestina-Yordania.
Menurut Abbas, dia mengatakan kepada pemerintah bahwa dia hanya akan menyetujui rencana seperti itu jika ‘Israel’ adalah bagian dari konfederasi yang disarankan. Gedung Putih menyangkal rencana tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri penjajah ‘Israel’, Benjamin Netanyahu menyatakan tengah mencoba melakukan komunikasi dengan pihak Yordania untuk membicarakan mengenai rencana Amman membatalkan sebagian dari kesepakatan damai kedua negara.
Salah satu poin dari perjanjian damai antara ‘Israel’ dan Yordania adalah Amman akan menyewakan dua wilayah mereka, yang terdiri dari sebuah tanah seluas 405 hektar dan sebuah pulau kecil kepada ‘Israel’.
“Yordania ingin menerapkan opsi untuk mengakhiri sewa, dan ‘Israel’ akan melakukan negosiasi mengenai kemungkinan memperpanjang pengaturan saat ini,” kata Netanyahu, seperti dilansir Reuters pada Ahad (21/10/2018).
Hubungan antara ‘Israel’ dan Yordania telah tegang selama beberapa tahun terakhir karena isu-isu seperti status Yerusalem (Baitul Maqdis) dan Temple Mount, kurangnya kemajuan berkaitan dengan pembicaraan ‘Israel’-Palestina. Lebih khusus lagi, penembakan yang dilakukan penjaga keamanan Kedutaan Besar ‘Israel’ di Amman kepada seorang warga negara Yordania yang menyebabkan korban tewas dalam insiden itu.
Penembakan itu, yang terjadi pada Juli 2017, memicu krisis diplomatik antara Yordania dan ‘Israel’.*