Hidayatullah.com–Pemimpin partai oposisi baru di Singapura, hari Jumat (26/7/2019), mengatakan khawatir undang-undang antiberita palsu, yang dikhawatirkan aktivis dipakai untuk membungkam kebebasan berbicara, akan disalahgunakan dalam pemilu-pemilu mendatang.
Negara-kota itu, yang diperintah Partai Aksi Rakyat (PAP) sejak merdeka lebih dari 50 tahun silam, meloloskan UU antiberita palsu (fake news) bulan Mei.
Singapura akan menggelar pemilu awal 2021, meskipun para analis memperkirakan bisa dipercepat tahun ini. PAP tidak pernah mengalami penurunan perolehan suara hingga di bawah 60 persen dan saat ini menguasai 83 dari total 89 kursi yang ada di parlemen.
“Saya khawatir dengan UU itu. Takut itu akan dipakai saat pemilu,” kata Tan Cheng Bock, seorang mantan anggota parlemen PAP dan kandidat presiden, saat peluncuran partainya yang baru Progress Singapore Party.
“Kami mungkin akan mengalami portal website kami dimatikan lalu kami akan menghadapi masalah,” ujarnya seperti dikutip Reuters.
UU tersebut mengharuskan media online melakukan koreksi atau menghapus konten yang dinilai pemerintah berisi kebohongan atau palsu. Pelaku pelanggaran terancam hukuman penjara sampai 10 tahun atau denda sampai S$1 juta.
Satu-satunya partai oposisi yang memiliki kursi di parlemen, Partai Pekerja, memilih menolak meloloskan undang-undang itu.
Tan menjadi anggota parlemen dari PAP selama lebih dari 20 tahun sampai 2006. Namanya semakin dikenal setelah nyaris mengalahkan seorang kandidat dukungan PM Lee Hsien Loong dalam pemilu presiden tahun 2011.
Kembalinya ke ajang politik dipandang dapat mendongkrak semangat oposisi yang lemah di negeri mungil nan kaya raya itu.*