Hidayatullah.com– Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Sukamta mengkritik wacana Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengusulkan pemberian sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang tidak patuh membayar iuran.
Menkeu Sri Mulyani mengusulkan agar ada sanksi yang diterapkan seperti tidak bisa melakukan perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) maupun tidak bisa mendaftarkan anak sekolah.
Sukamta menilai usulan Menkeu Sri tersebut tidak etis.
“Kalau sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan dikaitkan dengan hak untuk masuk sekolah, ini jelas sudah kelewat batas. Bu Menteri mestinya memahami amanah konstitusi, pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat. Saya kira sejak Indonesia merdeka, baru kali ini ada usulan sanksi melarang rakyat sekolah,” ujar Sukamta, Selasa (03/09/2019) di Jakarta dalam keterangan PKS kepada hidayatullah.com.
Sekretaris Fraksi PKS ini menilai, pemerintah semestinya fokus pada penyelesaian akar masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan, mengapa setiap tahun mengalami defisit.
Laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaimana disampaikan Menkeu yang dikutip keterangan PKS, menyebutkan akar masalah BPJS Kesehatan mengalami defisit. Yaitu: adanya rumah sakit yang melakukan kebohongan data, jumlah layanan melebihi jumlah peserta, adanya perusahaan yang mengakali iuran, peserta aktif rendah, data tidak valid, dan persoalan manajemen klaim.
Dari data temuan BPKP tersebut tidak menyebutkan akar persoalan ada pada besaran premi, hal ini menurut Sukamta penting untuk diketahui oleh publik.
Baca: BPJS Defisit, Rakyat Miskin Tak Terlayani, Direksi Usul Naik Tunjangan
Sukamta berharap agar pemerintah dan pihak BPJS Kesehatan menyampaikan terlebih dahulu bagaimana perencanaan mereka dalam mengatasi akar masalah yang ada.
“Keputusan pemerintah menaikkan besaran premi pasti akan membebani masyarakat yang tidak mampu jika akar masalah belum diatasi dan pasti tidak akan ada jaminan uangnya mencukupi,” ujarnya.
Lebih jauh, anggota DPR RI asal Yogyakarta ini mengaku beberapa kali mendapatkan keluhan dari daerah, adanya tunggakan BPJS ke rumah sakit yang angkanya di tiap RS sampai miliaran rupiah. Sedangkan saat ini, tuturnya, dengan keberadaan UU 23/2014, Pemerintah Daerah tidak lagi memiliki kewenangan mengadakan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) sebagaimana dulu diatur dalam UU 32/2014.
Kondisi ini, menurut Sukamta, bisa mengganggu upaya pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat di daerah.
“Pemerintah perlu segera mengatasi persoalan yang dialami di daerah. Jika situasi pelaksanaan BPJS tidak kunjung baik dan menyebabkan pelayanan kesehatan di daerah karut marut, saya pikir perlu segera dikaji kembali oleh DPR soal kewenangan daerah di dalam UU untuk mengelola Jamkesda sebagai bagian dari Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN),” pungkasnya.*