Hidayatullah.com–Sidang pelanggaran Hak Asasi Manusia Ad Hoc Kasus Tanjungpriok kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (12/1) kemarin agak istimewa. Pasalnya, sidang dengan terdakwa bekas Komandan Komando Daerah Militer Jakarta Utara, Mayor Jenderal Purnawirawan Rudolf Adolf Butar Butar itu kedatangan seorang saksi istimewa. Salah seorang saksi yang dihadirkan itu adalah Mantan Wakil Presiden Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno. Dalam kesaksiannya, Try menegaskan saat peristiwa terjadi pada 12 September 1984, aparat keamanan yang bertugas hanya membela diri. Dia juga mengatakan, sebagai Pangdam Jaya saat itu secara moral dirinya sudah bertanggung jawab. Namun bila terjadi tindak pidana, dirinya tak bisa begitu saja menanggung resikonya. Menurut Try, pelaku tindak pidana di lapangan yang seharusnya bertanggung jawab. Dalam kesaksiannya, Try menegaskan bahwa peristiwa Tanjung Priok terjadi semata-mata merupakan tindak pengamanan yang dilakukan oleh Kodam Jaya. Peristiwa ini, menurut Try, terjadi karena aparat yang akan diperbantukan untuk mengamankan Polres Jakarta Utara terhadang oleh masyarakat yang sudah beringas dan membawa senjata tajam. “Massa telah terprovokasi oleh penceramah-penceramah di Jalan Sindang,” ujarnya seperti dikuti tempo interaktif Rekayasa? Desember lalu, (19/12/2003) sidang lanjutan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat Tanjungpriok diwarnai oleh pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP). Saksi Amir Mahmud dan Suherman, dua saksi penting kejadian itu justru memberi keterangan yang meringankan terdakwa Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal TNI Sriyanto dalam sidang yang digelar di Pengadilan HAM Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (18/12). Saksi Suherman yang saat peristiwa Tanjungpriok 19 tahun silam turut mengalami luka tembakan di bagian tangan, membantah berita acara pemeriksaan yang pernah dibuatnya. Dia mengatakan, saat kejadian, ribuan massa bergerak menuju Kantor Markas Kodim Jakarta Utara dengan berbagai senjata seperti batu, celurit, bambu untuk menyerang aparat. Keterangan ini berbeda dengan BAP yang dibuat Suherman di Kejaksaan Agung. Keanehan lain dari Amir Mahmud adalah, kesaksian meringankan terhadap terdakwa Mayjen Sriyanto. Menurut dia, ribuan massa yang dipimpin Amir Bhiki terus menyerang aparat, meski telah diberi tembakan peringatan. Karena terus bergerak, aparat terpaksa menembaki massa yang menyebabkan sedikitnya sembilan nyawa melayang. 19 tahun silam, tepatnya 12 September 1984, pasukan militer melepaskan tembakan ke arah aktivis-aktivis Islam. Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny ketika itu. Sejumlah saksi kasus Priok pernah melaporkan, korban saat itu berjumlah tidak kurang 400 orang. Mereka diberondong dengan senjata tajam dan kemudian dilemparkan ke atas truk. Menurut kesaksian Mayor (Purn) Lasmana Ibrahim, malam itu, koordinasi peristiwa adalah Pangkobkabtib di bawah pimpinan Pangab yang saat itu dipimpin LB Moerdani dan Pangdam Jaya di bawah Try Sutrisno. Sayangnya, dua mantan petinggi militer ini namanya tak pernah disebut sebagai pihak yang terlibat. Beberapa bulan lalu, saat mulai digelar sidang kasus ini, beberapa saksi dan pihak keluarga korban Priok, didamping Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengaku merasa ‘diteror’ oleh pihak-pihak tertentu. Meski perisriwa yang telah melukai perasaan umat Islam itu telah berjalan hampir 19 tahun, toh seribu keanehan terus menyelimutinya hingga kini. (sctv/cha)