Hidayatullah.com– Defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus menuai perhatian, sorotan, sekaligus kekhawatiran. Sementara rakyat, terutama wong cilik, masih membutuhkan pelayanan kesehatan yang berbiaya murah bahkan gratis.
Dalam rapat gabungan antara Komisi XI DPR RI dengan Komisi IX DPR RI di ruang rapat Komisi XI DPR, Senayan, Jakarta, Senin (02/09/2019), terungkap, defisit anggaran BPJS Kesehatan menyebabkan kian banyak rakyat miskin yang tak terlayani akses kesehatannya.
“Kalau defisit semakin besar dan banyak rumah sakit tidak dibayar, akhirnya banyak rakyat miskin tidak bisa diterima (berobat). Ini sudah jadi persoalan bangsa,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Soepriyatno yang memimpin rapat tersebut.
Kasus rumah sakit penolak pasien BPJS memang kerap terjadi. Misalnya, pada awal 2019 ini, pasien mengeluhkan penolakan sejumlah rumah sakit di Jakarta Timur menggunakan BPJS Kesehatan. Rumah Sakit Yadika, Jakarta Timur, merupakan salah satu daftar rumah sakit yang sempat putus kontrak dengan BPJS Kesehatan namun kemudian telah diperpanjang kerja samanya.
Berdasarkan data yang diperoleh Lokataru Foundation, selama Mei hingga Juli 2019 tercatat 35 pasien pengguna BPJS Kesehatan gagal mendapatkan pelayanan kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan yang terakreditasi. Sebab, faskes tersebut tidak lagi melakukan pelayanan bagi pengguna BPJS Kesehatan.
Baca: Jokowi Bantah Pemerintah Lalai soal Defisit BPJS Kesehatan
Sementara itu, pengamat sosial dan politik, Musni Umar, mengaku heran dengan manajemen BPJS Kesehatan saat ini. Sebab, anggaran sedang defisit, tapi justru direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan malah mengusulkan kenaikan tunjangan.
Menurut Musni, kenaikan tunjangan tidak perlu dilakukan, mengingat BPJS sedang mengalami masalah keuangan.
“Seharusnya kesulitan keuangan yang dialami BPJS Kesehatan, dapat dibantu dari gaji upah direksi dan pengawas,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin (02/09/2019).
Menurutnya, hal itu dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab direksi terhadap kondisi keuangan yang dialami BPJS Kesehatan. “Gaji Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan plus bonus bisa mencapai Rp 200 juta per bulan,” sebut Musni.
Ia menyebut, dalam beleid lama, PMK No.34/PMK.02/2015, besaran tunjangan maksimal satu kali gaji atau upah yang diberikan sekali setahun. Dalam ketentuan yang baru, PMK No.112/PMK.02/2019, yang merupakan perubahan dari beleid terdahulu, pemberian tunjuangan bisa dua kali gaji atau upah yang diterima oleh anggota dewan pengawas dan anggota dewan direksi BPJS.
Penambahan besaran tunjangan gaji anggota pengawas dan direksi BPJS itu sangat aneh. Ini karena terjadi saat kinerja keuangan BPJS terus tekor.
Baca: DPR Amati Jaminan Kesehatan Nasional Semakin Memprihatinkan
Sebelumnya, BPJS Ketenagakerjaan mengirim surat usulan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan atau penambahan beberapa komponen manfaat tambahan lainnya bagi anggota dewan pengawas dan dewan direksi BPJS, yang diatur dalam PMK No. 34/2015.
Dari beleid itu, diatur antara lain kenaikan tunjangan hari raya (THR) keagamaan, tunjangan cuti tahunan, tunjangan cuti besar, dan tunjangan perumahan, serta peningkatan tunjangan komunikasi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas olahraga. Usulan-usulan tersebut antara lain dilandasi pertimbangan perlunya penyesuaian manfaat mengingat sejak tahun 2015 belum dievaluasi.
Kementerian Keuangan pun menyetujui 1 dari 7 usulan kenaikan tunjangan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, menyebut, pemerintah menilai hanya satu komponen yang layak dipenuhi dan menolak berbagai tunjangan lainnya yang diusulkan, dan ini dianggap sesuai dengan ketentuan yang diterima ASN/TNI Polri, dan pegawai non-ASN yaitu pemberian tunjangan cuti tahunan menjadi dua kali gaji yang diperlakukan seperti gaji ke-13 dan gaji ke-14 alias THR yang berlaku bagi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Pada Rabu (21/08/2019) lalu, Menkeu Sri Mulyani menyebut, defisit BPJS Kesehatan setiap tahun membengkak. Bahkan, tercatat BPJS Kesehatan mengalami defisit sejak tahun 2014.
Di tahun 2015, defisit keuangan BPJS Kesehatan meningkat drastis menjadi Rp 9,4 triliun. Tahun 2016, defisit sedikit mengecil menjadi Rp 6,4 triliun.
Defisit tersebut dikarenakan pada tahun 2016 terjadi penyesuaian iuran yang tertuang dalam Perpres, di mana penyesuaian dilakukan setiap dua tahun sekali.
Penyesuaian iuran tak memberikan angin segar bagi keuangan BPJS Kesehatan. Sebab, pada tahun 2017 tercatat defisitnya melonjak menjadi Rp 13,8 triliun. Pada tahun 2018 defisitnya melesat ke angka Rp 19,4 triliun.
Baca: Darurat BPJS Kesehatan, PKS Sarankan Jokowi Keluarkan Perppu
Menurut Sri Mulyani, setiap tahun BPJS Kesehatan selalu dibebani defisit besar meskipun pemerintah selalu menyuntikkan modal. Misalnya pada tahun 2015 sampai 2018.
Pada 2015, pemerintah menyuntik dana sebesar Rp 5 triliun dan tahun 2016 sebesar Rp 6,8 triliun. Lalu, pada 2017 sebesar Rp 3,6 triliun dan tahun 2018 sebesar Rp 10,3 triliun.
Menkeu meprediksi, defisit keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2019 akan lebih besar lagi. Ini mengingat rekam jejak di tahun-tahun sebelumnya. “2019 ini akan muncul lagi defisit yang lebih besar lagi,” sebutnya.* (SKR/dari berbagai sumber)