Oleh: Fachri Khoerudin
Hidayatullah.com | KETIKA Ja’far bin Abu Thalib dan sejumlah umat Muslim lainnya sedang menetap di Ethiopia, beberapa kaum kafir Quraisy menyusul dan membujuk kepada Raja Najasyi agar mereka dikembalikan. Saat itu mereka berceloteh bahwa Islam adalah musuh kerajaan. Alasannya sangat sederhana; karena antara Islam dan Kristen memiliki pandangan berbeda tentang Maryam dan Nabi Isa.
Sehingga tersiar desas-desus bahwa keberadaan mereka akan membahayakan kepercayaan dan keimanan masyarakat sekitar. Kaum Muslim dianggap ancaman, karena bisa saja merebut pengaruh raja Najasy dengan agama Islamnya. Singkatnya, umat Islam bukanlah “orang baik-baik” yang pantas dilindungi dan berada di tanah Ethiopia.
Karena sang raja membutuhkan kepastian, akhirnya Ia memanggil umat Islam untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya agama yang mereka anut. Dengan tujuan agar terang benderang segala urusan dan nama Islam bersih dari segala tuduhan.
Sebagai perwakilan dari kaum Muslimin, Ja’far bin Abi Thalib dengan gagah maju ke depan, lalu Ia mulai bercerita “Nabi Muhammad ﷺ mengajak kami supaya memeluk dan mengesakan Allah, serta meninggalkan kepercayaan nenek moyang kami yang menyembah batu dan berhala. Ia juga menyuruh kami selalu menjaga amanah, merajut silaturahim, bersikap baik terhadap tetangga, menyudahi semua perbuatan buruk dan pertumpahan darah”.
Singkat cerita, sang raja pun tersentuh dan yakin atas keputusannya. Lalu pada akhirnya Ia mengusir kafir Quraisy dan membiarkan umat Islam tinggal di sana untuk sementara waktu.
Berdasarkan kisah singkat di atas, ada sisi menarik yang bisa kita renungkan. Yaitu ketika Ja’far menjabarkan secara ringkas tentang ajaran agama Islam kepada Raja Najasyi.
Setidaknya, di sana ada dua hal yang menjadi titik tekan dari jawaban Ja’far. Pertama, Ia menyatakan bahwa semenjak kedatangannya, Rasulullah ﷺ memberi perintah untuk mengesakan Allah. Artinya, Ia menekankan untuk memperkuat kualitas keberislaman setiap Muslim secara individu.
Selanjutnya Ja’far juga menjelaskan tentang perintah menjaga amanah, silaturahim, berbuat baik pada tentangga dan sebagainya. Berbeda dengan yang pertama, aspek kedua ini lebih menekankan untuk memperkuat kualitas keimanan pada tahap hubungan sosial antar individu. Atau secara singkat, kita bisa menyebutnya sebagai penekanan terhadap keberislaman dalam tingkat sosial.
Selain menekankan dua aspek yang berbeda, jawaban dari Ja’far bin Abu Thalib juga seolah memberikan penerangan kepada kita, bahwasannya Islam bukan hanya sekedar agama yang terdiri dari ritual peribadahan antara manusia kepada Allah semata.
Tetapi lebih jauh dari itu, Islam juga memiliki seperangkat ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Keduanya seolah merepresentasikan bentuk keimanan yang utuh. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka kualitas keimanan dan keberislaman seseorang akan menjadi kurang sempurna.
Pemenuhan akan kualitas keimanan seseorang baik dari aspek individual maupun sosial ternyata tercermin dari beberapa hadis ketika menyematkan kata “la yuminu ahadukum” (tidak beriman di antara kalian semua) kepada seseorang yang tidak mencintai Rasulullah ﷺ, mengasihi saudaranya, tidak menghormati tetangganya, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan kesalehan individual dan sosial.
Hal ini juga diperkuat oleh sebuah ayat dalam al-Quran yang menerangkan, seseorang tidak akan mencapai al-birr (kebaikan) sebelum menginfakan harta yang dicintai (Ali-Imran: 92), juga kriteria pendusta agama dalam Surat al-Ma’un yang terdiri dari menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin (aspek sosial; ayat 1-3), lalai dalam shalat, riya dan tidak mensyukuri nikmat (aspek individual; ayat 3-7).
Berdasarkan pemaparan sederhana di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam bukan hanya berbicara tentang kesalehan dari aspek individual dalam ajarannya. Tetapi juga memerintahkan untuk memenuhi kewajiban untuk menjadi shalih dalam aspek sosial. terkhusus bagi poin yang kedua, ini yang sering luput dari perhatian orang-orang.
Keimanan dalam Tataran Sosial
“The government estimates that up to 3.78 milion indonesians will fall into proverty and 5.2 million lose their jobs during the corona virus pandemi.” (Pemerintah memperkirakan hingga 3,78 juta orang Indonesia akan jatuh miskin dan 5,2 juta kehilangan pekerjaan selama pandemi virus korona), begitu ungkap Adrian Wail Akhlas tentang laporannya dalam harian The Jakarta Post.
Statement di atas menunjukan tingkat ekonomi Indonesia yang cukup memprihatinkan. Bayangkan saja, 3 juta lebih penduduk yang jatuh dalam kemiskinan dan 5 juta lainnya kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19 berlangsung. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pertumbuhan ekonomi saat ini mengalami titik paling rendah selepas krisis moneter pada tahun 1998. Tentu, hal ini bukan kabar baik bagi masyarakat Indonesia.
Karena dampak dari pandemi yang merusak keseimbangan berbagai sektor publik, maka secara tidak langsung kita dihadapkan pada ujian berat yang beragam. Bukan hanya masalah tetap menjaga diri agar tidak terkena virus saja, tetapi juga bagaimana caranya bisa bertahan dari dampak-dampak negatif yang muncul bersamaan dengannya. Termasuk permasalahan ekonomi.
Oleh karena itu, menolong orang lain agar tetap bisa bertahan menjadi sebuah kebaikan yang mahal harganya. Bukan dalam artian menanggung kewajiban stake holder yang memang seharusnya bertanggung jawab, tapi hanya sekedar meringankan beban dari pihak-pihak “terdzalimi” yang belum terpenuhi haknya.
Dengan lapangan kerja yang sangat sempit, PHK di mana-mana, harga pasar yang flukluatif hingga permasalahan “klasik” birokrasi dalam pemberian bantuan menjadi alasan kenapa membantu sesama mesti untuk digelarkan. Jika tidak, akan banyak lagi berita-berita miris tentang penduduk yang kelaparan di TV dan media sosial lainnya.
Bagi seorang Muslim, bulan Ramadan merupakan saat yang sangat tepat untuk membantu saudaranya sebagai wujud dari penyempurnaan kualitas keimanan dalam tataran sosial. Setidaknya apa yang ditunjukan oleh Ibnu Abbas tentang kebaikan dan kedermawanan nabi yang meningkat berkali lipat ketika Ramadan datang menjadi bukti yang tidak terbantahkan. “wa kana ajwadu ma yakunu fi ramadhana” begitu kata Ibnu Abbas.
Oleh karena itu, hampir tidak ada alasan lagi bagi seorang Muslim untuk berdiam saja melihat kesulitan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain karena urusan kemanusiaan, faktor momentum Ramadan pun harusnya menjadi penunjang utama bagi mereka untuk bergerak aktif membantu sesama.
Tetapi di sana pasti muncul sebuah pertanyaan; bukankah kita juga ikut terkena dampak krisis ekonomi selama pandemi? Memang, tidak ada yang menyangkal bahwa saat ini semua orang pasti mengalami kesulitan. Namun yang perlu jadi catatan, Islam selalu memerintah pemeluknya untuk beribadah semaksimal dan semampunya. “Ittaqullaha ma Istatha’tum” sabda nabi.
Untuk membantu sesama, kuantitas memang menjadi satu hal yang penting. Dalam artian, jumlah bantuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi orang-orang kesusahan. Tapi jangan sampai kita begitu saja mengabaikan arti dari kualitas. Meski dengan kuantitas yang tidak seberapa, selama Ia membantu dengan ikhlas semampunya, maka cukup untuk dikategorikan sebagai orang bertaqwa.
Apabila tujuan Ramadan adalah untuk membentuk orang yang bertaqwa, maka bukankah menolong sesama di tengah kesusahan merupakan sebuah peluang untuk menjadikan tujuan itu menjadi kenyataan?
Sebab pemenuhan kualitas keimanan bukan hanya dilihat dari aspek ibadah antara individu dengan Allah saja, tapi juga termasuk hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya.*
Penulis alumni PKU-UNIDA Gontor Ponorogo