PARA sahabat adalah orang yang paling banyak berpuasa. Dalam peperangan, seorang Muslim dibolehkan tidak berpuasa sebab ia sedang bertarung dan menghujamkan pedangnya. Dia sejatinya malah harus memperkuat tubuh untuk berperang. Namun ada juga sahabat yang berpuasa. Di antaranya adalah `Abdullah bin Rawahah, seorang penyair, pahlawan muda yang gagah berani, yang mempersembahkan dirinya sebagai kurban.
Allah ‘Azza wa Jalla menerima kurbannya dengan baik, sebagaimana Dia menerima sedekah orang-orang yang suka bersedekah. Dalam Perang Mu’tah `Abdullah bin Rawahah berpuasa, padahal dia mendapatkan giliran sebagai panglima pasukan. Giliran ketiga setelah Zaid bin Haritsah dan Ja`far ra.
Dalam perang tersebut, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam mengirimkan pasukan 3000 orang. Sementara menurut sejarawan, pasukan musuh berjumlah 180.000 orang. Kedua pasukan kemudian bertemu. Para sahabat melihat bentangan pasukan yang maha besar di hadapannya. Sebanyak 180.000 serdadu mengalir laksana air bah. Sebagian yang satu membonceng sebagian yang lain. Setiap batalion terdiri dari 1000 orang serdadu. Masing-masing batalion tersebut ingin menguasai jazirah Arab, merobohkan Islam, dan menghentikan dakwah Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alahi Wasallam.
‘Abdullah bin Rawahah, mujahid sejati yang gemar berpuasa berkata, “Saudara-saudara sekalian, kita keluar menuju dua kebaikan; kematian di jalan Allah atau kemenangan dan ketinggian Islam. Demi Zat Yang jiwa ‘Abdullah bin Rawahah ada dalam genggaman-Nya, aku tidak akan kembali dari medan perang ini, hingga aku mati atau Islam mendapatkan kemenangan!”
Sejurus kemudian, dia menghunus pedangnya. Zaid maju ke depan dan terbunuh, disusul oleh Ja`far yang juga mengalami nasib sama. Maka kemudian datanglah giliran `Abdullah bin Rawahah untuk memegang panji-panji La ilaha illallah. Saat itu, matahari bersinar kekuning-kuningan pertanda akan tenggelam. `Abdullah bin Rawahah tetap berpuasa. Dengan tegap, dia kelihatan perkasa di atas punggung kudanya.
“‘Abdullah…!”
“Ja’far telah terbunuh, sekarang giliranmu.”
“Beri aku makanan yang bisa menguatkanku, sebab aku berpuasa,” pinta `Abdullah. Para sahabat memberinya sekerat daging. Ia mengambil dan memakannya. Akan tetapi, daging itu tidak terasa sama sekali demi melihat para sahabat dibanting dan kepala-kepala mereka diinjak-injak kaki kuda.
Dia melihat tubuh Ja`far, paman Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dipotong-potong dan dimakan di hadapannya! Nasib yang sama juga berlaku bagi jasad Zaid bin Haritsah. Sambil menghunus pedang, ‘Abdullah bin Rawahah berteriak keras, “Wahai manusia, apakah kau memotong-motong tubuhnya untuk menghina atau membencinya?!”
Dia segera menghambur ke depan menerjang semua musuh yang berada di atas kuda. ‘Abdullah pun tenggelam dalam peperangan dan terbunuh saat matahari hampir terbenam. Saat itu, Rasulullah mengamati jalannya peperangan dari Madinah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan tabir peperangan yang terjadi di Oman ke hadapan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam, sehingga beliau dapat melihat peperangan dan kekuatan pasukan Islam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Beliau mengumpulkan kaum Muslimin Madinah dan menangis di atas mimbar sambil berkata, “Tiga keluargaku telah mendahuluiku. Aku lihat semuanya telah masuk surga, mudah-mudahan Allah meridai mereka, karena aku pun meridai mereka.” (HR at-Thabrani).
Abu Darda’ berkata, “Pada suatu hari yang sangat panas, kami sedang berada dalam perjalanan bersama Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam. Karena udara demikian panas, di antara kami ada yang melindungi kepala dengan telapak tangannya. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dan `Abdullah bin Rawahah.” (HR Muslim).
Ketika anak-anak Abu Musa al-Asy`ari meminta wasiat, ia berkata, “Hendaknya kalian berpuasa pada saat matahari bersinar terik, dan saat berperang, maka Allah akan menjaga kalian dari panasnya Hari Kiamat.”*
Dari buku Bertaubatlah Agar Menang Dunia Akhirat karya Dr. Aidh bin ‘Abdullah al-Qarni.