Hidayatullah.com—Kementerian Luar Negeri Prancis hari Jumat (18/9/2020) mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan sayap militer Hizbullah menyimpan bahan-bahan pembuat bom di Prancis, setelah seorang pejabat senior Amerika Serikat mengatakan kelompok Syiah Libanon itu membuat persediaan bahan peledak di Eropa sejak 2012.
Dilansir Reuters Sabtu (19/9/2020), Nathan Sales yang merupakan koordinator kontraterorisme di Departemen Luar Negeri AS hari Kamis menuding kelompok dukungan Iran itu menyelundupkan dan menyimpan bahan-bahan kimia seperti ammonium nitrate dari Belgia ke Prancis, Yunani, Italia, Italia, Spanyol dan Swiss.
“Kelompok itu menyimpan persenjataan itu di berbagai tempat agar dapat melakukan serangan teroris besar kapanpun majikan-majikan mereka di Iran butuhkan,” kata Sales dalam penjelasan pers tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut atau memberikan bukti tentang aktivitas Hizbullah tersebut.
Ammonium nitrate merupakan bahan kimia industri yang umumnya digunakan sebagai pupuk dan sebagai bahan pembuat bom dalam aktivitas pertambangan. Bahan kimia itu dianggap relatif aman apabila tidak terkontaminasi dan disimpan dengan baik.
Apabila terkontaminasi bahan itu menjadi sangat berbahaya. Apabila tercampur bahan bakar atau disimpan sembarangan, maka dapat menimbulkan bencana seperti ledakan besar di kawasan pelabuhan Beirut, Libanon, pada bulan Agustus ketika 2.750 ton ammonium nitrate meledak sehingga merusakkan bangunan dan menewaskan sedikitnya 190 orang dan melukai ribuan orang lain.
“Sepengetahuan kami,tidak ada bukti nyata untuk mengkonfirmasi tuduhan itu di Prancis saat ini,” kata jubir Kementerian Luar Negeri Agnes von der Muhll kepada para reporter menjawab tuduhan Sales, seperti dikutip Reuters.
“Aktivitas ilegal apapun yang dilakukan oleh organisasi asing di wilayah kami akan diberikan sanksi sangat tegas oleh pihak berwenang Prancis,” kata Von der Muhll.
Tidak seperti Amerika Serikat, yang menyatakan organisasi politik dan sayap militer Hizbullah sebagai teroris sejak 1997, Prancis menyatakan sayap politik Hizbullah yang mengikuti pemilihan di Libanon merupakan sebuah organisasi yang sah.
Sekutu Prancis di Eropa, Jerman dan Inggris, juga menganggap Hizbullah sebagai organisasi teroris. Namun, para pejabat Prancis berdalih sikap memusuhi kelompok Syiah itu hanya akan menjadikan upaya mengatasi krisis di negara itu mustahil.
Menyusul ledakan di Beirut, Prancis memimpin upaya-upaya untuk memulihkan Libanon yang bertahun-tahun senantiasa terbelit pemerintahan yang korup sejak perang sipil 1975-1990.*