Hidayatullah.com–Kepala hak asasi manusia PBB mengatakan pada hari Rabu (09/12/2020) bahwa kantornya prihatin mengenai laporan yang sedang berlangsung tentang pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Xinjiang China. Ia juga mengatakan ingin mengunjungi rumah bagi komunitas Muslim etnis Uighur itu, lapor Anadolu Agency.
“Laporan ini datang dari berbagai sumber, tetapi konsisten dengan praktik kami yang biasa, tim saya mencoba untuk memvalidasi materi yang kami terima tentang masalah ini,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet, berbicara kepada wartawan di sebuah konferensi pers.
Selama berbulan-bulan, kantor hak asasi PBB telah mencari akses ke wilayah Xinjiang China yang mayoritas penduduknya Muslim yang dikontrol ketat dan berharap untuk mengunjunginya pada tahun 2021. Pada bulan Februari, Bachelet mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk mendalami situasi HAM di China.
“Kami akan berusaha menganalisis secara mendalam situasi hak asasi manusia di China, termasuk situasi anggota minoritas Uighur,” katanya. “Kami akan terus meminta akses tak terkekang bagi tim terdepan dalam persiapan untuk kunjungan yang diusulkan ini,” tambahnya.
Kepala hak asasi PBB mengatakan bahwa kantornya dan pemerintah China telah “melanjutkan pertukaran langsung dalam kunjungan ke China” dan juga melakukan kontak tentang pandemi Covid-19. Bachelet berharap bahwa format yang sedang dikerjakan oleh kantornya dan pemerintah China akan mengarah pada “akses yang berarti” bagi tim PBB.
Kebijakan Beijing di Xinjiang telah menuai kecaman luas dari kelompok-kelompok hak asasi. Termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, yang menuduhnya mengucilkan 12 juta orang Uighur di China, yang sebagian besar adalah Muslim.
Wilayah itu adalah rumah bagi 10 juta penduduk Uighur. Kelompok Muslim Turki itu, yang membentuk sekitar 45% dari populasi Xinjiang, telah lama menuduh otoritas China melakukan diskriminasi budaya, agama, dan ekonomi.
Lebih dari 1 juta orang, atau sekitar 7% dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam jaringan kamp “pendidikan ulang politik” yang meluas, menurut pejabat AS dan pakar PBB.*