Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | SELASA kemarin, 8 Juni 2021, tepat 100 tahun kelahiran Presiden RI ke-2, H.M. Soeharto diperingati. Tidak dengan peringatan berlebihan, kecuali diadakan doa bersama pada sore harinya, di Masjid At-Tin. Meski offline, tapi menggunakan prokes yang ketat. Undangan hanya dibatasi 500 orang.
Hadir dalam acara peringatan 100 tahun Soeharto itu, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, dan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Disamping masyarakat Jakarta yang antusias datang untuk ikut mendoakan pribadi yang selalu dikenang dengan kebaikan.
Maka alunan Yasin, Tahlil, dan Tahmid berkumandang. Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, didapuk sebagai penceramah. Acara ini juga diikuti secara online di banyak masjid di seputaran Jakarta, dan bahkan diberbagai pelosok negeri.
Jasa Jenderal Besar H.M. Soeharto bagi bangsa ini tak terhitung. Meski di akhir jabatannya sebagai presiden menyeruak praktik yang disebut KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Dan itu yang lalu menggiring menumbangkannya. Terlepas dari itu semua, setelah memasuki Orde Reformasi, kondisi negeri tidak lebih baik dari zaman saat Pak Harto berkuasa.
Saat itu KKN hanya ada dalam pusaran istana. Tidak ada anggota DPR keciduk korupsi. Tetapi saat ini ketangkapnya anggota DPR dalam kasus korupsi sudah bukan jadi berita besar. Sudah tak terhitung jumlahnya
Tidak ada juga Menteri Sosial yang sampai tega-teganya ngembat dana bantuan sosial (Bansos) untuk rakyat miskin. Tapi saat ini, di masa periode kedua Presiden Joko Widodo, hal itu terjadi. Apakah era reformasi ini lebih baik dari masa kepemimpinan Pak Harto (Orde Baru), misal tingkat korupsi, tidak juga. Bahkan boleh dikatakan lebih meluas, setidaknya itu yang disampaikan pembantu Presiden Jokowi, Prof Mahfud MD.
Trilogi Pembangunan
Pak Harto mendapat jukukan Bapak Pembangunan, itu julukan yang sepantasnya ia dapatkan. Jejak-jejak pembangunan yang ditinggalkan bisa kita lihat dan rasakan hingga sekarang. Tapi bagi yang membencinya, maka Pak Harto seolah tidak ada baik-baiknya. Apalagi dikalangan anak cucu PKI, maka Soeharto dicitrakan buruk sangat. Itu bisa jadi karena bapak atau kakek mereka ditumpas saat Soeharto berkuasa.
Tapi Pak Harto bisa dilihat secara obyektif dan sederhana, itu lewat ungkapan ibu-ibu yang sedang belanja di pasar tradisionil, yang mengeluh harga-harga kebutuhan pokok menaik tinggi, dan lalu kenangan akan Pak Harto muncul di benaknya. Kenangan kebaikan pada orang yang memberi kestabilan sembilan bahan pokok (sembako) selama 32 tahun ia menjabat.
Itu prestasi nyata yang diberikan Pak Harto dalam memimpin negeri ini. Prestasi menjaga kestabilan harga itu ia jaga betul. Itulah bagian dari trilogi pembangunan yang ia canangkan: Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan Hasil-hasilnya.
Jejak-jejak kebesaran H.M. Soeharto yang monumental lainnya adalah pembangunan Masjid Muslim Pancasila. Masjid yang khas pada menaranya terdapat segi lima. Melambangkan sila dalam Pancasila. Mungkin secara tersirat ia ingin sampaikan, bahwa sila-sila dalam Pancasila itu memang “warisan Islam” yang sebenarnya. Ada 999 masjid yang ia dirikan di seluruh pelosok negeri.
Sepuluh tahun menjelang kejatuhannya memimpin negeri ini, yang lalu ia mundur dari jabatan Presiden setelah beribu mahasiswa menduduki Gedung MPR RI/DPR RI, adalah kedekatannya dengan Islam. Maka kelompok yang berseberangan menyebut kabinet yang dibentuknya adalah “kabinet ijo royo-royo”. Hijau sebagai warna yang dilambangkan, atau bermakna Islam/muslim.
Jika sekarang prestasi yang ditorehkan jenderal besar itu akan coba dihilangkan, itu hal biasa. Dan itu biasanya dengan cara mengungkit kekuasaan yang dijalankannya dengan otoriter. Penilaian yang sah-sah saja. Tapi itu mungkin strategi, bagian dari “memberi rasa aman” pada masyarakat dalam menyelamatkan konsep trilogi pembangunannya, maka diawal-awal pemerintahannya, kata “gebuk” ia acap gunakan.
Meski demikian, ia tidak sampai mengkriminalisasi ulama dengan dicari-cari kesalahannya, yang penting hukuman penjara bisa dikenakan. Bandingkan dengan saat ini, bagaimana hukum hanya menyasar pada lawan politik, termasuk ulama nahi munkar, yang sebenarnya hanya mengkritik kebijakan. Sedang yang pro rezim mendapat perlakuan istimewa, atau privilage kebal hukum.
Di zaman Pak Harto tidak ditemui adanya keterbelahan masyarakat, seperti di era sekarang. Itu karena keadilan pada masyarakat ditegakkan. Meski itu pun belum sempurna. Tapi bukankah orde selanjutnya, Orde Reformasi, yang wajib menyempurnakannya. Tapi justru dua dekade lebih dari kejatuhan orde yang dikritik habis dan harus diakhiri, Orde Baru, masyarakat tidak menemukan nilai lebih dari keadilan sebelumnya, yang bisa dirasakan.
Maka jika muncul dan bahkan bertebaran sticker yang ditempel, atau bahkan lukisan Pak Harto dengan sungging senyum manisnya bertebaran di belakang truk: Piye kabare? Sek enak jamanku to? (Bagaimana kabarnya? Masih enak di zamanku kan?). Itulah sebenarnya bentuk protes masyarakat, yang terutama keluar dari mulut ibu-ibu yang kesulitan mengatur uang belanja bulanannya yang selalu tak tersisa dipertengahan bulan, “Andaikan Pak Harto bisa mimpin lagi ya…”, harapnya. Tentu itu hal mustahil. Setidaknya, itulah protes berbagai kalangan atas kondisi menghimpit yang dialaminya saat ini.
Maka dalam peringatan ke 100 tahun kelahirannya, memori kesadaran kolektif pun muncul, mengingat-ingat kelebihan Pak Harto dalam memimpin negeri ini… Piye kabare? Sek enak jamanku to? Tentu itu bukan Pak Harto yang berbicara, tapi itulah bentuk pengakuan bahwa dimasanya masyarakat merasa lebih makmur dan aman. Ada yang menyanggah? Monggo! (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar