Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Syamsuddin Arif
Masalah Justifikasi
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah orang disebut teroris karena aksinya, motivasinya, atau afiliasinya? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut ‘definisi’ siapakah teroris itu, akan tetapi juga menyangkut ‘justifikasi’ kapankah, atas dasar apakah, dan sejauh manakah aksi terror itu dapat dibenarkan. Menurut para pejuang kemerdekaan atau pendukung revolusi, misalnya, aksi kekerasan itu dibenarkan demi tujuan yang mulia, yaitu bebasnya rakyat dari belenggu penjajah atau cengkeraman penguasa.
Begitu pula menurut pemerintah di negara-negara modern, tindakan menangkap, menciduk, mengurung, menyiksa hingga ‘menghabisi’ lawan politik serta orang-orang yang dianggap atau dicap sebagai ‘musuh negara’ itu dibolehkan. Simaklah definisi terorisme menurut FBI ini: “the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives” (penggunaan kekuatan dan kekerasan secara tidak sah terhadap orang atau barang untuk menakut-nakuti atau menekan pemerintah, rakyat sipil, atau bagian dari mereka itu, demi mencapai tujuan-tujuan politik atau sosial).
Kata kunci dalam definisi itu adalah “unlawful”, sehingga kekerasan, kekejaman, keganasan yang dilakukan oleh aparat negara dianggap “lawful” dan karenanya dibolehkan. Di sini perbuatan teror diberikan justifikasi atas dasar pelakunya (actor-based). Kalau kami membunuh Anda, itu bukan terorisme. Kalau Anda membunuh kami, itu baru terorisme. Ini mirip dengan logika sepihak manusia: kalau nyamuk sampai membunuh Anda, itu karena penyakit. Kalau Anda sampai membunuh nyamuk, itu demi kesehatan. Mungkin karena belum ada komisi pembela hak asasi nyamuk, maka manusia bebas membunuh nyamuk seenaknya.
Kedua, aksi teror juga acapkali dianggap wajar dan boleh karena tujuannya menghentikan kezaliman, melenyapkan tirani, mengakhiri penindasan. Alasan semacam ini biasanya diutarakan oleh mereka yang menginginkan revolusi seperti para gerilyawan Nicaragua yang dipuji oleh Presiden Amerika Ronald Reagan sebagai pejuang kemerdekaan. Inilah yang disebut pembenaran berdasarkan hasil atau tujuan yang ingin dicapai (outcome-based), yang mereka anggap baik untuk rakyat (meski kenyataannya bisa jadi sebaliknya). Justifikasi begini juga biasanya dilontarkan oleh pemerintah yang menteror warganya sendiri. Dituduhnya si korban sebagai teroris –tak ubahnya ‘maling teriak maling’. Konon aksi kekerasan itu demi keamanan dan sebagainya (tanpa merasa perlu menjelaskan keamanan siapa dari apa dan siapa, mengapa, atau bagaimana).
Terakhir adalah justifikasi negatif yang melihat kekerasan sebagai kejahatan, kebengisan sebagai keburukan, penganiayaan sebagai kekejaman, yang kesemuanya tidak bisa dibenarkan atau dibolehkan apapun alasan dan tujuannya. Inilah yang disebut action-based consideration.
Menurut perspektif ini, semua aksi teror yang tidak manusiawi, biadab, dan zalim itu salah, mesti dihentikan dan tidak boleh dilakukan sama sekali, oleh sesama warganegara, oleh warga terhadap aparat negara, ataupun oleh aparat negara terhadap warga. Terrorism is generally and absolutely wrong. Masyarakat yang beradab (civilized) seyogyanya menjauhi segala macam aksi menteror secara verbal (dengan kata-kata) maupun non-verbal (dengan tindakan), secara horizontal (kepada sesama manusia) maupun vertikal (kepada yang di atas maupun yang di bawah mereka). Semoga Allah mengampuni dan merahmati kita semua, amin.*
Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) Jakarta