Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Gubernur Indonesia, itu julukan yang disematkan pada Anies Baswedan. Berawal dari entah itu disengaja, atau karena keseleo lidah, yang diucapkan Tjahjo Kumolo, saat itu Menteri Dalam Negeri. Tampaknya yang berbicara itu alam bawah sadarnya, hati yang berbicara. Karenanya, ia mengucapkan itu dengan jujur.
Dan dalam perjalanannya, julukan itu memang pas diberikan pada Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Gubernur Indonesia, itu identik dengan Presiden. Dan itu bukan cuma potongan diri yang serasa Presiden, tapi langkah-langkah kerjanya bak Presiden.
Terakhir pada saat DKI Jakarta disebut zona merah, disamping daerah-daerah lain pun hampir sama. Anies tampak berbagi tugas dengan Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur dengan baik. Anies tidak butuh tampil terus-menerus wawancara di televisi, dan itu diberikan pada wakilnya. Ia lebih bekerja kedalam, memastikan langkah-langkah yang akan diambil itu tepat. Maka kita jarang lagi melihat Anies muncul wawancara di televisi pada akhir-akhir ini.
Anies berkoordinasi dengan pemerintah pusat, dan dengan jajaran di tingkat Provinsi, bersama Pangdam, Kapolda dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dengan baik. Saat berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, Anies ajukan 4 (empat) permintaan, dan salah satunya ia meminta agar komunikasi publik pemerintah lebih intensif terkait pada keamanan, efektivitas dan kehalalan vaksin. Jelas Anies ingin memastikan bahwa vaksin yang diberikan pada warga DKI Jakarta adalah vaksin yang sudah dapat dipastikan kehalalannya.
Kami yang berada jauh dari Provinsi DKI Jakarta, terkagum pada pimpinan daerah yang memikirkan hak-hak warganya sampai segitunya. Memastikan bahwa hanya yang halal saja yang diberikan pada warganya. Anies berbicara pada hak mayoritas yang mesti dilindungi, dan itu pastinya tidak akan merugikan hak minoritas.
Memikirkan sampai segitunya, itu juga yang pastinya dirasakan warga di luar Jakarta lainnya. Tampaknya itu sederhana, tapi justru disitulah seorang pemimpin bisa dilihat. Dan Anies tidak segan bicara soal itu, yang lalu bisa digoreng mereka yang melihatnya sebagai kadrun. Dan benar saja, Ferdinand Hutahaean, langganan pengkritiknya, bisa punya kesempatan mengomentari, “Zaman begini kok masih bicara halal-haram”.
Itulah Anies Baswedan, yang ingin memastikan apa yang diberikan pada warganya hal yang baik. Jika ada yang halal, maka yang haram tetaplah haram, dan itu tidak dapat ditawar-tawar. Itulah bentuk pertanggungjawaban yang diberikan pada warganya, yang itu juga dipertanggungjawabkan pada Tuhannya. Hal sederhana, yang itu tidak sederhana dipandangan Anies.
Pansos Menyebalkan
Dalam kondisi demikian menjadi menyebalkan jika melihat pemimpin daerah yang kerjanya tidak jelas, kecuali tampil melayani wawancara dari satu televisi ke televisi nasional lainnya. Seperti pekerjaannya sebagai humas saja, yang ingin menyampaikan pada seisi negeri, bahwa ia bekerja. Tidak tampak Wakil Gubernur difungsikan selayaknya, sehingga nama sang Wakil itu jauh dari pemberitaan.
Menjadi aneh jika pada suasana Covid-19 yang amat mencekam, masih ada pimpinan daerah yang pansos muncul di televisi saban hari berkisah seolah ia bekerja dengan baik. Ia cuma berpikir bagaimana namanya tetap bisa bertengger di posisi atas dalam poling lembaga survei politik. Itu saja yang dipikirkan.
Anies Baswedan, sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkannya, jauh dari kerja pansos. Ia bekerja secara padu dengan pelibatan unsur-unsur yang seharusnya. Ia mampu mengkoordinir semua unsur bekerja sepenuh hati.
Anies mampu memberi ketenangan pada warganya, setidaknya memberi harapan dengan kerja-kerja terukurnya. Tampak saat ia mesti berbicara yang disertai Pangdam, Kapolda, Kejati, ia menyampaikan hal yang sebenarnya, bahwa Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Meminta warganya diantaranya mematuhi untuk tidak keluar rumah jika tidak benar-benar penting. Anies menyampaikan dengan lugas, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan warganya menghadapi PPKM Darurat.
Cara bertuturnya dan sikapnya seolah mewakili tidak saja sebagai pimpinan daerah, Anies tampak tampil layaknya pemimpin nasional yang mewakili kita semua. Ia tidak butuh lagi tampil terus-menerus menghiasi televisi nasional, tapi ia libatkan seluruh unsur bekerja secara kolektif. Itu yang tampak, meski kita ada di kejauhan Jakarta.
Menuju Pillpres 2024, mestinya tidak dijadikan ajang pansos dari pemimpin yang digadang-gadang lembaga survei politik punya kans besar untuk memimpin negeri ini. Memakai bencana Covid-19 jadi alat pencitraan atau pansos, itu sikap rendah dihadapan akal sehat. Yang tampak dilakukan cuma sibuk tampilkan diri di media sosial dan televisi. Masyarakat sudah lebih pandai melihat itu semua, setidaknya tidak ingin lebih rendah dihadapan keledai, yang tidak ingin masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar