Hidayatullah.com—Ketua PP Muhammadiyah Dr Haedar Nasir mengajak masyarakat mengkaji kembali makna ‘radikal’ dan ‘radikalisme; secara objektif dan ilmiah agar bisa menempatkan secara tepat “kata” tersebut pada tempat yang semestinya. Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan tapi ia akan keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih menyamakan dengan terorisme.
Haedar menjelaskan asal kata “radikal” yang berasal dari akar kata “radix” (Latin) yang artinya “origin“ (aseli) atau “root” (akar) dan radikalisme sebagai paham atau ideologi yang menurut Giddens ialah taking things by the roots (mengambil sesuatu dari akarnya). “Ketika sesuatu bersifat mendasar, tentu tidak ada masalah, apalagi agama, ideologi, maupun ilmu pengetahuan. Agama, pancasila, itu sesuatu yang mendasar. Bahkan jika radikal itu diartikan maju dalam berpikir dan bertindak sebagaimana dalam KBBI, berarti radikal itu positif dalam makna dasarnya,” tambah Haedar.
Namun radikalisme akan menjadi suatu problem bila hanya diidentikan dengan kekerasan kelompok tertentu seperti di Indonesia. Dan dalam hal ini, Islam dan umat Islam seringkali menjadi terdakwa dalam stigma radikalisme.
Konstruksi tentang radikalisme yang bias dan digeneralisasi ini kata Haedar, sangat menyakitkan sebab mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara. “Lain halnya bila ketika objeknya dilekatkan dalam semua objek kehidupan. Bahwa radikal adalah kembali ke akar dan menuntut perubahan secara kekerasan, bisa berlaku baik kelompok agama, pada kelompok nasionalis, pluralis, liberal-sekuler, bisa juga pada komunisme,” terang Haedar.
Radikalisme juga akan menjadi sebuah masalah bila dimaknai sebagai pandangan dan orientasi ektrem. Sebab estremis selalu berusaha menciptakan masyarakat yang homogen berdasarkan prinsip dogmatis yang kaku.
Menurut Haedar, radikal-ekstrem bisa menyasar semua paham tidak terkecuali agama, ideologi, atau pun aliran pemikiran lainnya. Artinya, semua kelompok maupun gerakan memiliki potensi yang sama mengalami potensi transisi menjadi radikal-ekstrem.
Komunisme, kata Haedar, merupakan contoh dari kelompok radikal-ekstrem. Sebagai lanjutan dari paham gerakan Marxisme radikal, komunisme dalam sejarah dunia di mana pun telah menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik, komunalisme dalam berbangsa, dan diktatorial dalam pemerintahan.
Bahkan, kata Haedar, komunisme mempraktekkan totaliterisme, yang menghalalkan kekerasan dan segala cara yang menimbulkan pertentangan dan konflik keras dalam masyarakat. “Komunisme memang sejatinya merupakan ideologi yang radikal-ekstrem yang berapaham pada komunal bahwa berbangsa, bernegara, dan hidup itu harus didasarkan pada paham semua milik semua. Dan memandang bahwa tidak ada kelas tetapi mereka memperjuangkan kelas proletar dan anti terhadap berjouis,” tutur Haedar.*