Hidayatullah.com– Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan keprihatinan terkait wabah kolera di Suriah yang pertama kali terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dengan mengatakan wabah itu menimbulkan “ancaman serius” bagi seluruh wilayah Suriah dan negara-negara tetangganya.
Lebih dari 900 kasus suspek dan delapan kematian telah dilaporkan terjadi dalam tiga pekan terakhir.
Sejauh ini, wabah masih terkonsentrasi di provinsi Aleppo dan Deir al-Zour, lansir BBC Selasa (13/9/2022).
Bakteri kolera yang menjangkiti masyarakat diyakini terkait dengan pemanfaatan air Sungai Efrat yang terkontaminasi untuk kebutuhan air minum. Sungai besar itu mengalir melalui sejumlah provinsi di Suriah, yang penduduknya memanfaatkan airnya untuk minum dan pengairan lahan pertanian mereka.
Kolera adalah infeksi diare akut yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholera. Dalam kasus yang parah, penyakit ini dapat membunuh dalam beberapa jam setelah menjangkiti tubuh pasien jika tidak segera diobati.
Hari Senin (12/9/2022) Kementerian Kesehatan Suriah mengatakan bahwa 20 kasus kolera, termasuk dua kematian, telah dikonfirmasi oleh laboratorium di provinsi utara Aleppo, lapor kantor berita milik pemerintah Sana. Empat kasus lainnya dikonfirmasi di provinsi pesisir Latakia serta dua di ibu kota Damaskus.
Namun, PBB memperingatkan bahwa data dari pemantauannya menunjukkan total ada 936 kasus diare akut parah, termasuk delapan kematian terkait, telah tercatat di seluruh Suriah sejak 25 Agustus.
Lebih dari 670 kasus suspek dan enam kematian terjadi di Aleppo, sementara 201 kasus dan dua kematian terjadi di provinsi bagian timur Deir al-Zour.
“Wabah ini menjadi ancaman serius bagi orang-orang di Suriah dan kawasan itu,” kata Koordinator Kemanusiaan PBB di Suriah, Imran Riza.
“Tindakan cepat dan mendesak diperlukan untuk mencegah penyakit dan kematian lebih lanjut,” imbuh Riza, memohon kepada negara-negara donor untuk memberikan lebih banyak dana bantuan darurat.
Meningkatnya suhu udara, curah hujan di bawah rata-rata dan berkurangnya aliran air dari hulu sungai di negara tetangga Turki, mengakibatkan debit air di Sungai Efrat kritis.
Kondisi itu diperparah dengan rusaknya infrastruktur pasokan air dan pembuangan limbah, sehingga kebanyakan dari 5 juta warga Suriah mengandalkan air sungai sebagai sumber air minum dan irigasi pertanian.
PBB mengatakan tes diagnostik cepat, cairan infus dan garam rehidrasi telah dikirim ke fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah terdampak dan daerah berisiko tinggi lainnya, seperti kamp pengungsi. Air bersih juga dikirim dengan truk-truk tangki dan upaya klorinasi terus ditingkatkan.*