Hidayatullah.com—Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa kasus pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah Indonesia akibat konflik di Myanmar merupakan urusan negara di Asia Tenggara.
Menurutnya, sebagai tetangga, Indonesia memiliki kewajiban menolong para pengungsi Rohingya itu agar mendapat perlindungan. Apalagi, mereka Muslim, wajib bagi sesama Muslim bertanggung jawab menolong.
“Rohingya ini adalah masalah ASEAN. Menurut saya, kita punya kewajiban menolong sebagai negara tetangga. Kewajiban lain adalah menolong sesama Muslim karena Rohingya ini juga Muslim. Jadi, ada ada dua kewajiban yang harus kita kedepankan yakni mas’uliyatul jiwar dan mas’uliyatul insaniyah,” tutur Ulil kepada NU Online, Ahad (10/12/2023).
Menurutnya, sikap mau menolong itu sangat penting untuk menjadi dasar pemerintah Indonesia mengatasi persoalan warga Rohingya yang sedang mengalami kesengsaraan akibat konflik di Myanmar.
“Membantunya seperti apa saya tidak tahu karena ada mekanisme-mekanisme hukum internasional dan United Nations. Saya tahu ada kerumitan dalam menangani masalah pengungsi, tapi bagi saya semestinya kemanusiaan ini menjadi dasar kita menolong. Adapun masalah lain bisa ditangani secara spesifikasi yang pertama adalah menolong,” jelas Ulil.
Menantu Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri ( Gus Mus) itu kemudian menceritakan sikap negara-negara Eropa pada 2015 ketika dihadapkan pada gelombang pengungsi yang cukup besar, terutama berasal dari daerah konflik seperti Suriah.
Kanselir Jerman Angela Merkel memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan menampung pengungsi yang telah di Eropa dan Jerman dan memberikan perlindungan secara maksimal.
“Ini perbandingan saja bahwa Angela Merkel menjadi contoh bagaimana sebaiknya sikap sebuah negara terhadap pengungsi dari negara lain. Meskipun fenemona tersebut mendapatkan respon berbeda di antara negara-negara kawasan Eropa,” terang Ulil.
Dukungan Ormas untuk Rohingya
Ulil berharap, organisasi-organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah turut mendorong pemerintah agar membantu pengungsi Rohingya dari sisi kemanusiaan.
Misalnya seperti di Eropa yang menyediakan gereja sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi. Dampaknya, para pengungsi ini mengalami naturalisasi secara perlahan.
“Saya belum melihat itu di NU, juga di ormas lain. Perhatian ke masalah itu juga belum tampak. Kalau misalnya ormas-ormas keagamaan bersuara, pemerintah pasti akan akan insentif untuk bersikap dengan menggunakan kacamata kemanusiaan,” jelas Ulil.
Adapun soal Presiden Joko Widodo menduga kuat adanya keterlibatan human trafficking atau upaya sistematis tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tentu menjadi tugas pemerintah untuk terus melakukan investigasi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan arus pengungsi etnis Rohingya, Myanmar yang membanjiri Indonesia terutama ke wilayah Provinsi Aceh diduga kuat adanya keterlibatan jaringan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO.*