Edukasi kemerdekaan Palestina bukan hanya tugas media, melainkan tanggung jawab semua pihak yang memiliki ruang pengaruh
Oleh: Ali Musa Harahap, Ph.D
Hidayatullah.com | KABAR DUKA tiada henti terus datang dari Palestina kembali mengguncang nurani dunia. Gempuran demi gempuran dari rezim penjajah ‘Israel’ tidak hanya merenggut nyawa warga sipil tak berdosa, tetapi juga mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan.
Rasa terkejut, marah, dan frustrasi tak terhindarkan ketika menyaksikan genosida yang telah berlangsung puluhan tahun ini kian memanas.
Dunia yang dahulu kita harapkan mampu menjadi mediator justru terkesan membisu. Tak satu pun pemimpin dunia atau organisasi Islam besar yang benar-benar tampil dengan sikap tegas menentang agresi ‘Israel’. Inilah kenyataan pahit yang terus menghantui rakyat Palestina—sunyi di tengah derita.
Genosida penjajah ‘Israel’ terhadap Palestina bukan sekadar masalah dua negara. Ini adalah isu moral global.
Ketika kita membincangkan Palestina, sebenarnya kita sedang membicarakan kegagalan kolektif dunia dalam mewujudkan tata kelola berbasis nilai (value-based governance)—yakni kepemimpinan dan kebijakan yang dibangun atas dasar keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap hak asasi.
Ketika kekuasaan digunakan untuk menindas dan bukan melindungi, maka sistem tata kelola global patut dipertanyakan.
Value-based governance tidak hanya menekankan pada efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan semua pihak non-pemerintah, tetapi lebih jauh mengedepankan integritas dan akuntabilitas dalam setiap tindakan negara, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sayangnya, dalam kasus penjajahan Palestina, tata kelola global tampak kehilangan arah moral. Ketika dunia internasional, termasuk badan-badan besar seperti PBB, gagal menekan ‘Israel’ agar menghentikan kekerasannya, maka di situlah krisis nilai sedang terjadi.
Selama periode relatif tenang dalam beberapa tahun terakhir, berbagai faksi Palestina telah menahan diri untuk tidak meluncurkan serangan ke ‘Israel’.
Ini menunjukkan komitmen terhadap solusi damai dan diplomasi. Namun, sayangnya, serangan dari pihak ‘Israel’ tetap terjadi, bahkan meningkat, terutama terhadap warga sipil Palestina.
Media arus utama pun seringkali gagal menyampaikan kenyataan secara utuh dan adil, sehingga menciptakan narasi yang berat sebelah.
Zionis ‘Israel’ tampaknya memilih kekerasan sebagai instrumen utama, alih-alih membuka ruang dialog. Dalam konteks ini, Palestina bukanlah pihak yang menghindari diplomasi.
Justru sebaliknya, respon kekerasan dari ‘Israel’ memperlihatkan penolakan terhadap segala bentuk perundingan. Jika dunia terus diam dan membiarkan tindakan seperti ini berlangsung, maka perdamaian hanyalah ilusi belaka.
Lebih jauh lagi, kita perlu memahami bahwa tragedi Palestina adalah buah dari kolonialisasi yang telah berlangsung sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.
Sejak mandat Inggris terhadap wilayah tersebut pada 1918 hingga deklarasi sepihak kepada penjajah ‘Israel’ pada 1948, rakyat Palestina terus teraniaya.
Namun yang lebih menyakitkan adalah bagaimana sebagian negara Arab kini justru menormalisasi hubungan diplomatik dengan penjajah, seakan mengesahkan status quo dan mengubur harapan rakyat Palestina untuk merdeka.
Inilah saatnya dunia, khususnya umat Muslim dan masyarakat Indonesia, memperkuat political empowerment atau pemberdayaan politik.
Pemberdayaan ini berarti mengedukasi masyarakat, membangun kesadaran kolektif, dan menyalurkan tekanan politik secara sah kepada lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan nasional agar bersikap tegas terhadap penjajahan ‘Israel’.
Peran negara dan non-negara sama pentingnya. Pemerintah, ulama, akademisi, guru, jurnalis, aktivis, serta tokoh masyarakat harus bersatu dalam membangun narasi keadilan untuk Palestina.
Edukasi kemerdekaan Palestina bukan hanya tugas media, melainkan tanggung jawab semua pihak yang memiliki ruang pengaruh.
Aksi nyata harus menyusul: dari advokasi kebijakan luar negeri, hingga penggalangan dana kemanusiaan yang transparan dan berkelanjutan.
Masa depan Palestina sangat tergantung pada solidaritas global yang dibangun atas dasar nilai. Bukan hanya nilai agama, tetapi nilai universal tentang hak untuk hidup merdeka, aman, dan bermartabat.
Harapan untuk Masjidil Aqsha dan Palestina yang merdeka harus terus dinyalakan. Ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah seruan nurani kemanusiaan yang tidak boleh padam.*
Penulis adalah pengajar Universitas Darussalam Gontor, alumnis Studi Ilmu Politik di International Islamic University Malaysia