Oleh: Alawiyah Tuti
MENJELANG Perayaan Natal setiap tahun kita akan menemui fenomena yang mengusik kerukunan dan toleransi antar agama.
Fenomena sosial yang terjadi adalah maraknya pemakaian atribut natal, khususnya topi Natal yang dipakai oleh karyawan di berbagai perusahaan.
Tanggal 17 Desember 2016 yang lalu, saya bersama beberapa teman dari komunitas Ashabul Kahfi AQL Islamic Center bersepakat untuk melakukan sosialisasi Fatwa MUI tentang haramnya menggunakan atribut Natal bagi Muslim. Kami membagi tugas dengan membuat empat kelompok besar untuk melakukan sosialisasi di sebuah mall yang cukup besar di bilangan Jakarta Selatan.
Sekitar kurang lebih dua jam berada di mall tersebut, kami berhasil mendapatkan temuan berupa: 9 Store (kebanyakan restoran) mewajibkan pegawainya untuk menggunakan atribut Natal (seperti topi Santa, Bando Rusa, dan lain sebagainya).
Banyak sekali cerita menarik saat mencoba mendekati satu persatu pegawai muslim yang menggunakan atribut Natal dan saat mendekati supervisor masing-masing store tersebut.
Hampir semua pegawai dan supervisor Muslim sebenarnya mengetahui bahwa menggunakan atribut Natal adalah bertentangan dengan aqidah. Tetapi di lapangan, mereka tidak bisa mengelak dan tetap menggunakannya karena ada aturan dari perusahaan dan akan dikenakan sanksi jika tidak menggunakan.
Berbagai argumen kami coba kemukakan agar sang supervisor mengizinkan pegawainya yang muslim melepaskan atribut natal tersebut. Alhamdulillah, atas izin Allah, kami dimudahkan dan diberi kekuatan untuk menyampaikan apa yang memang seharusnya kami sampaikan.
Ada dua store yang supervisor nya bersedia akan mengusulkan pencabutan penggunaan atribut ke kantor pusat, dan ada satu supervisor yang saat itu juga langsung mencopot atribut natal dari pegawai store bahkan berani menandatangani surat pernyataan bersedia akan di proses hukum jika di lain hari memaksa pegawainya untuk menggunakan atribut natal.
Momen yang membuat bahagia itu ada, dan sebaliknya, momen yang menyedihkan saat kami melakukan sosialisasi inipun ada.
Seperti yang terjadi saat kami mengunjungi store terakhir sebelum kami mengakhiri sosialisasi di hari itu. Saya hampir tak kuasa menahan tangis ketika pegawai store di sebuah restoran berujar, “Kamipun sebenarnya tidak mau menggunakan ini, kami pun sudah mengajukan keberatan jika disuruh menggunakan ini, tapi kami terpaksa taat aturan.”
Beberapa lama kemudian supervisor di restoran tersebut datang. Kami pun menyapa beliau dengan ucapan salam dan tak lupa memberikan info bahwa perusahaan tak punya hak memaksa pegawainya yang beragama Islam untuk menggunakan atribut perayaan agama lain. Dan dari hasil percakapan dengan supervisor ini, kami mendapatkan informasi bahwa penggunaan atribut memang sudah menjadi keputusan sang pemilik restoran yang ternyata non Muslim.
Menag: Fatwa MUI soal Haram Pakai Atribut Non-Muslim Bentuk Toleransi
Ia menyarankan kami mendatangi langsung kantor pusat untuk berbincang bersama sang pemilik resto, karena sebenarnya secara pribadi supervisor ini pun keberatan terhadap aturan yang dibuat oleh perusahaan namun tak mampu berbuat banyak. Inilah yang terjadi di negeri kita.
Secara konstitutional, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28 e ayat 2 UUD 45).
Teruntuk kalian para saudara Muslim yang masih menggunakan atribut perayaan agama lain (baik secara terpaksa maupun tidak), berjuanglah agar tidak termasuk golongan orang-orang yang ber-tasyabbuh (meniru-niru cara ibadah agama lain), sebab hal ini menyangkut akidah.
Jangan pernah merasa takut untuk menolak mengenakan simbol-simbol ini dan yakinlah bahwa rezeki datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala, bukan dari atasan kalian. InsyaAllah kalian mampu!
Penulis seorang mahasiswa dan aktif di komunitas Ashabul Kahfi AQL Islamic Center-Jakarta