Hidayatullah.com—Cendekiawan Muslim dan pemikir Islam, Dr. Syamsuddin Arif, MA., mengupas peran akal dan rasionalitas dalam ajaran Islam dalam kajian Subuh di Masjid Sultan Alauddin, Jalan Prof. Abdurrahman Basalamah, Kota Makassar, belum lama ini.
Dengan tema “Akal dan Rasionalitas dalam Islam”, dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor itu menegaskan bahwa akal dalam pandangan Islam bukan sekadar instrumen berpikir logis, melainkan amanah ilahi yang sarat dimensi moral dan spiritual.
“Akal secara bahasa berarti mengikat, menahan, dan mengingat. Sementara secara istilah, akal adalah kemampuan untuk memahami hakikat sesuatu, membedakan yang benar dan salah, serta menuntun manusia kepada kebaikan,” ungkap Dr. Syamsuddin di hadapan jamaah yang hadir, termasuk Ketua Yayasan Wakaf UMI Makassar, Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, MA., dan sejumlah akademisi senior Universitas Muslim Indonesia.
Akal: Bagian dari Fitrah dan Ilmu
Menurut alumnus universitas terkemuka di Malaysia dan Jerman itu, para ulama ushul fiqh menyamakan akal dengan ilmu. Maka orang yang berakal adalah orang yang berilmu. Bahkan, sebagian pengetahuan telah Allah tanamkan dalam diri manusia sejak lahir, sebagai bagian dari fitrah.
“Sebagian pengetahuan dasar dalam diri manusia tidak didapat melalui pendidikan formal. Ini menunjukkan bahwa akal adalah bagian dari fitrah yang harus dijaga dan diarahkan,” jelasnya.
Tanggung Jawab Akal dalam Islam
Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan MUI Pusat ini menekankan bahwa akal dalam Islam memiliki fungsi lebih dari sekadar nalar logis. Akal yang sehat harus mampu membimbing manusia untuk beriman dan beramal saleh.
“Keimanan yang kokoh dan amal saleh yang konsisten adalah buah dari akal yang digunakan dengan benar. Dalam Al-Qur’an, Allah selalu menyandingkan iman dan amal saleh, yang merupakan indikator orang-orang berakal,” ujarnya.
Mengutip pembagian klasik ulama salaf, ia menjelaskan tiga kategori manusia berdasarkan penggunaan akal, pertama, ‘Āqil (عاقل): Orang yang menggunakan akalnya dengan benar, mengenali kebenaran dan mengikutinya. Kedua, ghāfil (غافل): orang lalai, yang tahu kebenaran tapi memilih mengabaikannya.
Dan ketiga, jāhil (جاهل), orang bodoh, yang tidak tahu atau menolak kebenaran. “Kita perlu merenung, di manakah posisi kita? Islam memandang akal berasal dari qalb (hati), bukan hanya otak. Karena itu, kebersihan hati adalah syarat utama kecemerlangan akal,” jelasnya lagi, mengutip pernyataan klasik: “al-‘aqlu ‘amalu al-qalbi, la ālah wa lā jawhar fā‘il.”
Syubhat dan Syahwat: Ancaman Bagi Akal
Lebih lanjut, Dr. Syamsuddin menyebutkan bahwa tantangan terbesar bagi akal adalah syubhat (kerancuan pemikiran) dan syahwat (dorongan hawa nafsu). Keduanya bisa merusak fungsi akal, sehingga manusia kehilangan kemampuan menimbang kebenaran.
“Orang yang akalnya dikalahkan oleh nafsunya, maka hewan pun lebih baik darinya. Karena hewan tidak diberi akal, sedangkan manusia diberi tetapi tidak digunakan,” pungkasnya.
Kajian ini dimoderatori oleh Ustadz Waspada Santing, salah satu pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sulsel, yang menyampaikan bahwa diskusi seperti ini penting untuk membangun kembali kesadaran umat Islam tentang peran akal dalam beragama secara utuh.*