Hidayatullah.com—Dewan Perwakilan Aceh (DPA) tengah memperdebatkan usulan pembatasan penggunaan perangkat Android oleh anak-anak di wilayahnya.
Langkah ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran maraknya dampak negatif gadget—termasuk kecanduan game online, media sosial, dan gangguan mental pada generasi muda.
Wakil Ketua Komisi V DPA, Waled Nura, memimpin rapat koordinasi bersama Dinas Sosial, Dinsos, Dinas Pendidikan, serta pakar kesehatan mental dan psikologi anak, Senin pekan lalu.
Menurutnya, pengawasan terhadap anak-anak sangat penting untuk menjaga kesehatan mental dan perkembangan sosial mereka.
“Ini adalah masalah krusial yang mendesak untuk segera kita tangani bersama,” tegas Waled dalam pertemuan itu, sebagaimana dilaporkan Gema Sumatra.
Terkait usulan pembatasan akses, Waled mencontohkan beberapa kebijakan di Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak-anak, sebagai contoh regulasi yang efektif .
Tidak hanya membatasi waktu penggunaan, DPA juga mempertimbangkan pembatasan akses gadget pada anak dibawah umur, mulai dari kontrol usia dan durasi penggunaan.
Hal ini didukung pula oleh PW Syarikat Islam Provinsi Aceh yang mendesak pemerintah provinsi segera membentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait hal tersebut
Dukungan serupa muncul dari DPRK Banda Aceh. Anggota DPRK Devi Yunita (PKS) menyatakan; “Kami sangat sepakat adanya pembatasan penggunaan media sosial berdasarkan usia. Ruang digital saat ini sudah tidak sehat lagi…”
“Anak-anak yang terlalu lama menggunakan smartphone cenderung kesulitan berinteraksi sosial di dunia nyata,” ujar psikolog anak Dr. Sri Mulyani — dikutip dari Gema Sumatra — menyoroti risiko medis dan perkembangan anak apabila penggunaan gadget tidak dikendalikan.
Penelitian dari Universitas Indonesia juga menguatkan fakta ini. Data menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan smartphone berlebihan dengan gangguan tidur dan penurunan kemampuan belajar anak, kata Dr. Sri.
Regulasi dan Edukasi
Dalam Rapat lanjutan DPA difokuskan pada opsi pembuatan regulasi berbentuk perda atau SKB bersama antara DPA, pemerintah provinsi, dan instansi terkait.
Tujuannya adalah memastikan regulasi memiliki payung hukum dan diterapkan secara efektif di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
“Sosialisasi kepada sekolah dan orang tua menjadi krusial agar semua pihak memahami batasan penggunaan gadget untuk anak,” tambah Waled dalam diskusi tersebut
Dinas Pendidikan Aceh juga dilibatkan dalam mengembangkan edukasi digital. Selain mengatur jam penggunaan, pemerintah daerah didorong untuk menyediakan alternatif kegiatan positif seperti olahraga, seni, dan membaca di luar jam kelas, sebagai solusi terhadap magnet gadget.
Rencana DPA Aceh ini selaras dengan model kebijakan di beberapa negara maju. Mengingat betapa pesatnya penetrasi smartphone di seluruh lapisan masyarakat di Aceh, regulasi ini dianggap penting sebagai bagian dari strategi perlindungan anak.
Walikota Banda Aceh menegaskan dukungannya untuk inisiatif ini, dan menyatakan akan mengkaji regulasi bersama DPRK dan stakeholder terkait. Diharapkan regulasi ini dapat mencegah lebih jauh munculnya kecanduan dan dampak psikologis pada anak.*