Pacaran remaja yang –konon katanya dikklaim media penyemangat– cinta justru kerap menjadi sumber kekerasan emosional dan depresi yang membahayakan kesehatan jiwa
Hidayatullah.com | PACARAN di masa remaja sering dianggap sebagai bagian penting dalam perkembangan sosial dan emosional. Namun, fakta menyebutkan bahwa tidak sedikit hubungan pacaran (dating) justru menjadi sumber kekerasan, trauma hingga gangguan jiwa bagi pasangan muda.
Berbagai riset mengungkapkan bahwa kekerasan dalam pacaran remaja—baik secara fisik, emosional, maupun seksual—menjadi masalah serius yang memengaruhi kesehatan mental dan fisik remaja.
Sebuah penelitian oleh Temple et al. (2013) yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics menunjukkan bahwa “sekitar 20% hingga 31% remaja mengalami kekerasan dalam pacaran.”
Mereka menjelaskan, “Kekerasan dalam pacaran tidak hanya berdampak pada luka fisik, tetapi juga dapat menyebabkan depresi, gangguan kecemasan, dan ideasi bunuh diri pada remaja.”
Bentuk kekerasan yang paling sering ditemukan meliputi kekerasan fisik, kekerasan emosional seperti penghinaan dan kontrol berlebihan, serta kekerasan seksual.
Penelitian lain oleh Exner-Cortens et al. (2017), dipublikasikan di Journal of Adolescent Health, menyebutkan bahwa “kekerasan emosional dan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang paling umum dan berbahaya dalam hubungan pacaran remaja.”
Mereka menambahkan, “Pelajar dan orang tua harus waspada terhadap tanda-tanda pelecehan verbal, manipulasi, dan isolasi sosial yang sering dianggap remeh, padahal efeknya sangat merusak.”
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2019 juga mengungkapkan fakta mengkhawatirkan, bahwa “satu dari empat remaja pernah mengalami kekerasan dalam pacaran, termasuk kekerasan seksual.”
“Pencegahan kekerasan dalam pacaran harus dimulai sejak dini melalui edukasi tentang hubungan sehat dan pengenalan tanda-tanda kekerasan,” demikian kesimpulan CDC.
Kasus Depresi Remaja China
Sebuah penelitian berjudul “Profiles of Teen Dating Violence and Association With Depression Among Chinese Teens” yang dipublikasikan dalam Journal of Interpersonal Violence (2022) membuktikan bahwa kekerasan dalam hubungan pacaran (Teen Dating Violence/TDV) sangat berkaitan dengan gejala depresi pada remaja.
“Penelitian ini menganalisis sampel sebanyak 891 siswa tingkat menengah dan atas yang memiliki pengalaman berpacaran di Taiwan, Hong Kong, dan Shanghai.
Analisis kelas laten (LCA) dan analisis regresi logit multinomial dilakukan untuk mengidentifikasi profil kekerasan dalam pacaran (TDV) dan menyelidiki kemungkinan hubungan antara keanggotaan kelas tersebut dengan depresi yang dilaporkan sendiri oleh responden,” demikian hasil penelitian Cheng, Shen, dan Jonson-Reid ini.
Penelitian ini melibatkan 891 siswa SMP dan SMA dari Taiwan, Hong Kong, dan Shanghai yang memiliki pengalaman pacaran. Peneliti menggunakan metode Latent Class Analysis (LCA) untuk mengelompokkan pola kekerasan pacaran, serta multinomial logit regression guna menganalisis hubungan antara jenis kekerasan dan tingkat depresi.
Hasil dari analisis kelas laten menunjukkan bahwa model empat kelas adalah yang paling sesuai dengan data, yakni: Severe/Multi-Type TDV (5,51%), Controlling Behavior (13,08%), Non/Low TDV (64,50%), dan Physical Violence (16,91%). Model terbaik ini juga menunjukkan adanya kekerasan dua arah (bidirectionality), artinya di antara pasangan remaja dalam hubungan yang abusif, keduanya cenderung saling melakukan tindakan kekerasan dan perilaku kontrol.”
Dua kelas pertama (Severe dan Controlling) memiliki ciri bidirectional violence, yakni kedua pihak saling melakukan kekerasan atau kontrol dalam hubungan mereka.
Kekerasan dan Depresi: Apa Kaitannya?
Dengan kelompok Non/Low TDV sebagai pembanding, ditemukan bahwa remaja yang berada dalam hubungan dengan kekerasan berat maupun perilaku kontrol memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami gejala depresi.
“Remaja dalam kelas Severe/Multi-Type dan Controlling Behavior secara signifikan lebih mungkin melaporkan gejala depresi dibanding mereka yang tidak mengalami kekerasan, tulis Cheng, penulis riset ini.
Namun, secara mengejutkan, kekerasan fisik saja (tanpa unsur kontrol emosional) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan depresi.
Temuan ini menunjukkan bahwa kontrol emosional dan relasi yang saling menyakiti secara psikologis justru lebih berbahaya bagi kesehatan mental dibanding kekerasan fisik yang terjadi sepihak.
Implikasi Sosial dan Pendidikan
Penelitian ini menekankan bahwa intervensi untuk mencegah kekerasan pacaran tidak cukup hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga perlu mencakup aspek emosional dan dinamika kontrol dalam relasi remaja. Program edukasi dan pendampingan psikologis di sekolah sebaiknya memberi ruang untuk membahas bagaimana mengenali hubungan yang manipulatif, serta cara membangun relasi yang sehat dan saling menghormati.
Penelitian Cheng, Shen, dan Jonson-Reid ini memberikan kontribusi penting dalam memahami kompleksitas hubungan pacaran remaja di Asia Timur. Temuan bahwa kontrol emosional memiliki dampak psikologis yang signifikan membuka jalan untuk pendekatan baru dalam pendidikan kesehatan mental remaja.
Secara keseluruhan, kekerasan dalam pacaran remaja adalah masalah serius yang tidak boleh diabaikan. Pacaran yang semestinya menjadi ajang belajar cinta dan saling menghargai justru menjadi sumber luka emosional dan fisik.
Oleh sebab itu, edukasi, dukungan, dan intervensi dini sangat penting agar remaja dapat membangun hubungan yang sehat dan bebas dari kekerasan.*