Oleh: Salim A Fillah
KECUALI jika disebutkan dalam nash; sebagai mukmin kita meyakini bahwa semua tempat adalah baik, semua waktu adalah baik.
Maka Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencegah agar jangan sampai muncul anggapan sebuah tempat membawa kesialan.
Gunung Uhud memang tempat nan kenangannya getir bagi para sahabat Nabi. Di sana Rasululllah terluka dan terkabar dibunuh, 70 syuhada terbantai.
Di Uhud; paman Rasulullah Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim dikunyah jantungnya oleh Hindun. Mush’ab dipapas lengannya, ‘Abdullah ibn Jahsy disayati hidung, telinga dan perutnya.
Manusiawi jika kenangan menyakitkan atas Uhud mengendap di dalam jiwa para Sahabat Nabi. Nama gunung itu mencekam hati mereka.
Maka indah sekali sabda Sang Nabi, “Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kitapun mencintainya.” Bersahaja. Mengena.
Maka berulangkali pula Uhud dijadikan umpama tuk besarnya ‘amal shalih, “Mitsla Jabali Uhudin”; sebagai penegas cinta itu.
Begitu pula hendaknya cinta kita untuk Aceh; juga daerah lain di mana musibah pernah terjadi. Di sana ada ‘ibrah (pelajaran). Ada hikmah.
Aceh; salah satu wilayah tergigih dalam jihadnya melawan Kape Belanda; berhak atas cinta dan doa kita sebagai bangsa selamanya.
Aceh, yang para ibunya melepas perhiasan emas untuk mengongkosi negara ini di awal berdiri; semoga sentausa dalam syari’atNya.
“Meunyo ate hana teupeh, pade bijeh jitem suba”; inilah jiwa rakyat Aceh; “Apabila perasaan tak tersinggung, dia kan memberi segalanya.”
Sayang pemimpin Indonesia sering memperlakukan Aceh dengan “Rudah u manyang rhot bak muka dro teuh”; meludah ke atas, jatuh ke muka sendiri.
Semoga untuk Aceh dan negeri ini Allah karuniakan juga pemimpin mukmin nan adil. “Beulahe pemimpin ureueng meuiman. Na keadilan geupimpin bangsa.” *
Penulis buku “Lapis-Lapir Berkah”, twitter @Salimafillah