TIDAK ada istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka, dan tidak ada istilah kesialan, jika sesudahnya adalah surga, demikian ungkap sahabat Nabi saw, Abu Bakar al-Shiddiq.
Ungkapan itu sangat sederhana dan mudah dicerna oleh siapa saja. Tetapi hari ini, ternyata tidak begitu banyak yang meminatinya. Umumnya orang tidak mampu melihat keuntungan dengan benar. Demi keuntungan sesaat, biar haram, hantam. Sebagian masih mengerjakan shalat, tetapi itu tak mampu mengarahkannya menjadi Mu’min sejati.
Ketika berbicara dunia seolah tidak ada kesempatan lagi, banyak yang berlomba-lomba meraihnya dengan berbagai cara. Sementara ketika membahas soal akhirat, amat sedikit yang menyambutnya. Terbukti, ketika adzan berkumandang misalnya, tidak banyak orang yang bergegas untuk segera menuju masjid sholat berjama’ah. Ini menandakan bahwa iman yang ada dalam dada masih lemah dan harus dikuatkan serta terus diteguhkan.
Amru bin Ash berkata, “Seseorang akan memetik buah penyesalan dari sikap ketergesa-gesaannya, dan ketergesa-gesaan yang tercela adalah jika bukan untuk ketaatan.” Artinya, iman akan menjadi semakin baik dan kuat manakala kita senantiasa bersegera dalam ketaatan dan ampunan.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133).
Jadi, bersegera menuju ampunan Allah adalah perkara utama bagi setiap Muslim. Hendaknya tidak satu perkara pun yang menghalangi kita untuk bersegera menuju ampunan Allah, sekalipun perkara itu berupa perkara yang sangat membahagiakan secara jasadiah.
Dalam kasus ini kita patut merenungkan sikap yang diambil oleh Hanzhalah bin Amir. Ia adalah seorang sahabat yang syahid di medan perang Uhud, sehari setelah melepas masa lajangnya dengan menikahi Jamilah binti Ubay.
Sebagai pengantin baru, tentu layak jika Hanzhalah meminta dispensasi kepada Nabi saw untuk tidak turun dalam jihad bersama kaum Muslimin. Tetapi Hanzhalah memilih untuk bergabung dengan pasukan Muslimin jihad fi sabilillah.
Di medan perang ia melihat Abu Sofyan menunggang kuda dengan pongah dikelilingi ribuan tentara kafir. Dengan sigap Hanzhalah langsung menuju Abu Sofyan untuk berduel pedang. Abu Sofyan tidak mampu mengatasi serangan-serangan Hanzhalah, hingga tokoh kafir Quraisy itu tersungkur dari kudanya.
Menyadari kekuatan Hanzhalah, Abu Sofyan lari terbirit-birit. Seolah tak mau kehilangan momentum, Hanzhalah mengejar Abu Sofyan. Dalam pengejarannya, Hanzhalah ditombak dari belakang oleh pasukan kafir Quraisy. Pengantin baru itu pun tersungkur bersimbah darah. Tetapi Hanzhalah masih berusaha bangkit dan mengejar.
Tetapi karena darah segar yang keluar begitu deras, menjadikan fisiknya tak mampu lagi mengejar musuh Islam itu. Hanzhalah kembali terjatuh dan syahid di jalan Allah SWT. Rasuluh saw langsung melihat jasad Hanzhalah, beliau berkata bahwa para malaikat memandikan Hanzhalah dengan air surga.
Di sinilah dapat kita pahami pernyataan Abu Bakar Al-Shiddiq yang mengatakan bahwa “Tak ada istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka, dan tidak ada istilah kesialan, jika sesudahnya adalah surga”.
Hanzhalah benar-benar tidak sial, sekalipun meninggal dunia ketika tidak berapa lama menikmati masa bulan madunya. Sebab Allah menggantikannya dengan nikmat yang lebih besar. Bahkan anaknya yang dikandung oleh istrinya Jamilah binti Ubay, ketika dewasa, juga menjadi orang yang selalu bersegera dalam jihad dan takwa.
Lalu bagaimanakah dengan kita dalam kehidupan sehari-hari? Sebagai seorang Muslim, tentu kita harus memprioritaskan seruan Allah dan Rasul di atas segala perkara keduniaan.
Jika tiba waktu shalat, maka bersegeralah mendirikan sholat. Jika ada saudara sakit, bersegeralah menjenguknya. Jika ada yang membutuhkan bersegeralah membantunya. Dalam hal jihad dan takwa, sangat tidak baik jika kita menunda-nundanya.
Kenapa kita tidak boleh menundanya?
Sungguh kita tidak pernah tahu kapan kita akan meninggal dunia. Boleh jadi umur kita sangat dekat, sementara waktu tidak akan kemana-mana selain akan terus mendekatkan jarak kita dengan kematian. Jadi, tunggu apalagi, bersegeralah dalam jihad dan takwa.
Lantas “jihad” apa yang masih bisa kita lakukan saat ini?
Jihad menurut istilah syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan (dalam hal ini perang dengan orang-orang kafir). Namun “jihad” dalam istilah lain dimutlakkan untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan orang-orang fasiq. Adapun jihad melawan hawa nafsu, maka hal itu ditempuh melalui belajar perkara-perkara agama dan kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan adalah dengan menolak segala bentuk syubuhaat dan syahawat yang selalu dihiasi oleh syaithan. Adapun jihad melawan kuffar maka hal itu dilakukan dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq adalah dengan tangan, lisan, dan hati.“ [Fathul-Bari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani]
Kita masih bisa melakukan “jihad” dalam istilah lain. Karenanya, mengapa, sekalipun sakit dan sangat lemah, Rasulullah tetap berusaha untuk hadir dalam sholat berjama’ah. Bahkan sepanjang hayatnya, beiau tidak pernah melewatkan malam kecuali melaluinya dengan ruku’ dan sujud.
Demikian pula dengan Umar r.a. Sekalipun memikul sekarung gandum itu tidak ringan, di tengah malam pula, demi kebahagian rakyat yang dipimpinnya, ia berusaha untuk memikulnya sendiri.
Begitu pula dengan apa yang dicontohkan oleh Sayyidina Ali r.a dan Fatimah Az-Zahrah. Sekalipun diri dan keluarganya sangat membutuhkan makanan, tetapi keduanya rela melepaskan makanan yang lama dinantinya itu kepada pengemis yang lebih membutuhkan.
Atau seperti Mu’adz bin Jabal, seorang pemuda yang hadir di masjid sebelum adzan dikumandangkan dan selalu shalat dibelakang Rasulullah yang menjadi imam shalat berjama’ah. Itulah tauladan yang sangat baik untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita benar-benar ingin menjadi hamba Allah yang bertakwa.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran : 134).
Pantas jika kemudian Allah Subhahanu Wata’ala menegaskan kepada kita bahwa semua manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali yang konsisten saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Kita punya ilmu, punya harta, punya keahlian, waktu dan kesempatan yang bisa kita manfaatkan untuk kebaikan. Jika demikian, mari bersegera dalam “jihad” dalam bentuk waktu, harta, ilmu dan segala yang kita miliki ini untuk kita kerahkan membela agama serta takwa. Hanya dengan cara itu saja, setiap Muslim akan meraih keberuntungan hakiki, dunia dan akhirat.*/Imam Nawawi