Hidayatullah.com – Kisah masuk Islamnya anak Majelis Gereja di Solo. Dulu waktunya habis untuk gereja, kini waktu habis untuk mngajar ngaji para tunanetra, gratis tak berbiaya.
“Kamu sudah tidak saya akui sebagai anak dan sekarang juga keluar dari rumah ini,” kara seorang ibu mengusir Santo Setiawan anaknya. Santo diusir dari rumah gegara masuk Islam. Padahal hak setiap orang untuk memilih agamanya. “Bisa dibayangkan tunanetra diusir dari rumah. Saya waktu itu belum punya bayangkan,” kata Santo. Karena sudah diusir, Santo pun meninggalkan rumah. Ia memilih imannya ketimbang rumahnya.
Santo memang seorang tunanetra, lahir di Solo Jawa Tengah dari keluarga Katolik yang sangat taat. Ayahnya menjadi anggota majelis gereja, ibunya penggerak jemaat gereja. Adiknya semata wayang juga aktifis gereja. Setiap ada aktivis gereja Santo hampir selalu hadir. Diakuinya separo waktunya habis untuk gereja. “Pokoknya setiap Gembala Sidang bilang ini kegiatan untuk Tuhan, saya berangkat,” ujar Santo ditemui di rumahnya awal Mei lalu.
Di gereja Santo mendapat tugas di bagian musik. Terutama ia jago bermain piano. Tak cuma memainkan piano, ia juga seorang arranger music (penata musik). Penyanyi kondang pop Jawa, Dedy Kempot, musik beberapa lagunya digarap Santo. Lagu apa saja Santo tak mau menyebutkan, lantaran menyangkut kode etik. “Soalnya jual putus sehingga nama saya tak berhak dicantumkan,” katanya.
Siapa sangka dari musik ini pula Santo mendapat hidayah. Pada 2018 ia mengambil keputusan untuk masuk Islam. Ada yang aneh sebelum ia memutuskan bersyahadat. Setiap dengar azan ia bangun tidur. Padahal, akunya, ia sudah minum 2 butir obat tidur dan telinganya ditutup headset tebal. ”Sudah begitu masih saja bangun setiap azan. Saya seperti orang gila,” katanya.
Tak mau gila beneran, ia segera memutuskan masuk Islam. Akibatnya, tak hanya diusir dari rumah, ia juga kehilangan pekerjaannya sebagai pemusik. “Saya benar-benar mulai dari nol setelah masuk Islam,” jelas Santo. Ini jelas keadaan yang tak mudah dan sering dialami mualaf. Santo tak menyerah. Ia tak mau menukarkan iman Islam dengan materi.
Ia lalu berdoa kepada Allah. Bukan minta materi. Ia minta diberi guru ngaji. Ia begitu ingin bisa membaca kitab suci Al-Quran. Tentu saja Allah mengabulkan doanya. “Allah memberi saya bukan saja guru ngaji tapi juga sekaligus pekerjaan guru ngaji he…he…,” kata Santo.
Kini di rumah orangtuanya di Solo, ia bahu membahu bersama istrinya mengajar ngaji khusus tunanetra. Sangat tidak mudah. Tantangannya banyak, mulai dari dukungan keluarga, tranpotasi dan Al Quran braile.
“Untuk memudahkan mereka, kami kemudian menjemput satu persatu,” jelas Santo yang juga menjadi guru di salah satu SLB (Sekolah Luar Biasa) di Solo ini. Setiap Sabtu tak kurang 20 tunanetra belajar membaca Al Quran. Gratis bahkan dapat makan siang gratis.
Bagaimana kisah persisnya Santo masuk Islam, bagaimana perjuangannya untuk bertahan hidup setelah diusir dari rumah? Lalu bagaimana pula ia bisa diterima kembali keluarganya, apa yang dia lakukan? Apakah ia seorang yang kaya sehingga mampu mengirim gojek menjemput para tunanetra? Ikuti kisah selengkapnya di video ini