Hidayatullah.com–Dengan sedikit riasan yang tersisa di sekitar matanya, Rahma terbaring di tempat tidur Rumah Sakit Pusat Herat, Afghanistan. Bagian tubuhnya yang lain hampir tidak menampakkan sama sekali bahwa ia adalah seorang perempuan belia.
Usia Rahma baru 16 tahun, tapi statusnya sudah menikah. Ia meninggal setelah membakar dirinya sendiri.
Suara ribut yang diiringi tangis terdengar di luar ruangan, ketika sanak saudara Rahma bersitegang dengan keluarga besar suaminya.
“Lebih dari 90 persen kasus pembakaran diri, menghanguskan 50% lebih bagian tubuh mereka,” Dr. Muhammad Aref Jalali menjelaskan.
Sejak jatuhnya kekuasaan Taliban di Herat, kasus pembakaran diri menjadi sebuah fenomena yang kerap terjadi. Para wanita dan anak gadis menyiram tubuh mereka dengan minyak lalu membakarnya, sebagai bentuk protes atau frustasi akibat persoalan-persoalan dalam keluarga.
Fenomena serupa juga mulai tampak pada laki-laki, meskipun jumlahnya masih relatif kecil.
Dalam satu tahun terakhir, rumah sakit di ibukota propinsi Herat mencatat ada 52 kasus pembakaran diri yang dilakukan oleh wanita. 47 orang dari mereka menemui ajal. Sementara satu orang dari lima kasus yang terjadi pada pria, masih bisa diselamatkan.
Pada saat mayat Rahma yang hangus terbakar terbaring dalam balutan perban, Dr. Jalali sedang menangani pasien-pasien wanita lain yang juga telah melakukan tindakan serupa.
Shrin Gul, perempuan muda berusia 16 tahun yang telah menjadi ibu, mengalami luka bakar 30% di tubuhnya.
Seorang wanita lain, wajah, leher, dada, perut, tangan kanan dan kirinya terbakar. Dia bilang hal itu terjadi karena kecelakaan. Tapi menurut Dr. Jalali, wanita itu sengaja menyulut api ke tubuhnya. Wanita itu mengatakan, lengan kirinya yang patah adalah luka lama. Namun dokter yakin itu adalah luka baru, yang kemungkinan disebabkan oleh suaminya.
Herat terletak di Afghanistan sebelah barat. Posisinya yang dekat dengan Iran, mempengaruhi perubahan drastis pada daerah itu sejak tahun 2001. Bekas pengungsi yang pernah merasakan budaya yang lebih terbuka di luar perbatasan, dinilai menuntut lebih banyak kebebasan ketika mereka kembali ke negaranya.
Mereka lebih banyak menuntut hak-haknya sebagai manusia. Musik, televisi, dan pakaian asing menjadi kebutuhan dasar, seakan menjadi banjir yang menyerang masyarakat lokal, yang hidup dalam budaya tradisonal dan relatif sederhana. Hal ini diperparah dengan serbuan pasukan asing dibawah komando Amerika Serikat.
“Zaman sekarang perempuan lebih pandai dibanding dulu, dan mereka berjuang melawan sebagian tradisi dan budaya yang ada,” kata Sorya Baligh, seorang penasihat bagian hukum di kantor Urusan Wanita Provinsi Herat.
Baligh sekarang menangani 4-6 kasus perceraian setiap minggunya, jumlah yang tidak pernah terjadi beberapa tahun lalu. Bahkan ketika ia sedang bicara, datang Azaro. Wanita berusia 17 tahun itu menuntut cerai. Ia ingin meninggalkan suaminya, karena baru mengetahui kalau pria itu sebelumnya pernah menikah, dan iparnya memukuli dirinya.
“Mereka punya dua pilihan, bunuh saya atau ceraikan saya,” ujar Azaro.
Berbeda dengan sebagian orang di Herat lainnya, Baligh yakin ketegangan budaya yang terjadi di wilayah itu menandakan bahwa segala sesuatunya berjalan sebagaimana mestinya. Menurut hematnya, tidak semua perubahan akan berakibat baik.
Berdasarkan catatan Baligh, kasus pembakaran diri pertama yang terjadi di Herat disebabkan oleh hal sepele. Si pengantin wanita tidak bahagia, karena pasangannya tidak bisa menyelenggarakan pesta perkawinan yang mewah dan meriah sebagaimana yang diinginkannya.
“Dalam masa 30 tahun perang, para pengungsi di negara-negara tetangga meniru kebudayaan di sana dan membawanya masuk ke sini.”
“Namun, masyarakat kami tidaklah sebebas itu. Tidak mungkin bagi gadis-gadis di sini memiliki kehidupan yang sama seperti kehidupan gadis di Iran. Hal ini menciptakan masalah dalam keluarga.”
Meskipun Herat bukanlah satu-satunya wilayah Afghanistan yang mengalami kasus itu, sepertinya di dalam masyarakat secara umum memang terjadi pergesekan antara budaya lama dan baru.
Maria Bashir adalah kepala penuntut di provinsi Herat. Dengan bangga ia mengatakan bahwa dirinya adalah wanita Afghanistan pertama yang menduduki jabatan itu. Ia telah mendapatkan banyak ancaman akibat pekerjaannya, dan selamat dari percobaan pembunuhan.
Setelah mendengar terjadi lagi penganiayaan suami terhadap istri, Bashir membeberkan sederet daftar kasus yang menyeramkan.
“Saya pernah melihat seorang wanita yang hidung dan kupingnya dipotong oleh suaminya. Wanita yang dicukur gundul oleh suaminya agar tidak keluar rumah. Wanita yang dipukul dengan panci berat sampai kupingnya masuk ke tulang kepala. Dan wanita yang dipukuli dengan sekop,” papar Bashir.
Menurut Bashir, sementara kemajuan telah dicapai, perjuangan untuk membela hak-hak kaum wanita Afghanistan paling tidak membutuhkan waktu 20 tahun lagi.
“Para pemimpin politik yang berteriak-teriak tentang demokrasi belum siap menerapkan demokrasi atas wanita-wanita mereka sendiri.”
“Para wanita mereka hanya tinggal di rumah. Mereka hanya menginginkan demokrasi buat wanita tetangganya.” [di/tnae/hidayatullah.com]