Hidayatullah.com—Hari Kamis (20/11/2014) pagi, ratusan pelajar Al Azhar dari berbagai belahan dunia memenuhi Masjid Sultan Hasan. Nampak pelajar dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Rusia, Afrika, Turki, semuanya berkumpul di bawah naungan ilmu.
Cuaca musim dingin yang mulai menyergap Kairo seolah-olah tak mengurangi energi dan semangat membara yang tampak dari wajah dan gelagat mereka. Bagaimana tidak, mereka ingin menjadi saksi sejarah pembukaan kembali Madrasah Syafi’iyah yang sudah berabad-abad vakum dari dunia turats (kitab klasik).
Adalah Syeikh Hisyam Kamil Al Azhari, sosok yang sudah sangat familiar di kalangan pelajar Al Azhar, orang yang sangat ditunggu-tunggu hari itu.
Ya, beliau akan menjadi tokoh sentral dalam penghidupan kembali tradisi belajar mengajar ilmu agama di Madrasah Syafi’iyah tersebut. Beliau akan memulai pembacaan Kitab Tafsir Jalalain, karya dua ulama besar, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin Al Suyuthi.
Ketika sosok yang dinanti tersebut tiba, ratusan hadirin berdiri untuk menyambut dan menghormati kedatangannya. Hal seperti ini adalah pemandangan biasa disaksikan di kalangan Azhariyyin (pelajar Al Azhar). Karena ada slogan yang selalu dipegang oleh santri Al Azhar “Al Adabu Qabla al Ilmi” (sebelum berilmu, beradablah terlebih dahulu).
Syeikh Hisyam Kamil memulai mukadimahnya dengan mengirimkan bacaan Al Fatihah kepada guru-guru beliau dan para ulama terdahulu yang pernah mengajar di Madrasah Syafi’iyah. Syeikh Hisyam mengutarakan alasan beliau memilih membaca kitab Tafsir Jalalain.
“Tafsir ini sangat cocok untuk pemula. Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin Al Suyuthi keduanya dulu bermukim di Kairo dan keduanya adalah ulama besar Al Azhar. Mereka berdua mengikuti mazhab Imam Syafii. Oleh karenanya dalam menghidupkan kembali madrasah ini, kita akan membaca kitab tafsir mereka,” tegas Syeikh Hisyam hari itu.
Syeikh Hisyam menceritakan biografi singkat dua ulama pengarang tafsir agung tersebut dan proses penulisannya.
“Imam al Mahalli memulai tafsirnya dari surat Al Kahfi sampai surat Al Naas. Ketika beliau menafsirkan surat Al Fatihah, beliau dipanggil oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Setelah beberapa tahun, masyarakat waktu itu meminta Imam Al Suyuthi untuk menyempurnakan tafsir tersebut agar tidak hilang, mulailah Al Suyuthi menyempurnakan tafsir gurunya tersebut,” demikian kisah Syeikh Hisyam.
Tafsir Jalalain walaupun dikarang oleh dua ulama beda generasi, tapi metodologi dan kualitasnya sama, seolah-olah penulisnya hanya satu. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi tafsir ini.
Diceritakan juga oleh Syeikh Hisyam bahwa saudara Imam Al Mahalli, Kamaluddin, suatu ketika pernah bermimpi bertemu dengan Imam Al Mahalli dan juga Imam Al Suyuthi. Kemudian beliau bertanya kepada Al Mahalli, “Manakah yang lebih bagus dari tafsir (Jalalain) itu, yang anda mulai atau yang beliau (Al Suyuthi) sempurnakan?” Imam Al Mahalli hanya tersenyum senang. Lalu Imam Al Suyuthi menjawab, “Yang saya sempurnakan lebih baik.” Keesokan harinya saudara Al Mahalli segera menemui Imam Al Suyuthi dan menceritakan perihal mimpinya. Al Suyuthi menjawab dengan sangat tawaduk, “Karangan Imam Mahalli, guruku, lebih baik daripada punyaku. Aku hanya mengutip ilmu yang Al Mahalli berikan.”
Sedikit tentang Syeikh Hisyam Kamil Al Azhari, ia adalah salah seorang ulama Al Azhar yang bermazhab Syafiii dan berakidah Asyari. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk mengajar ilmu syariah di berbagai majelis ilmu.
Di usia beliau yang masih relatif muda (42 tahun), Syeikh Hisyam merupakan ulama yang produktif nan dermawan. Di tengah kesibukan beliau mengajar ia masih sempat menulis kitab. Terhitung sampai sekarang 17 kitab dari berbagai disiplin ilmu telah keluarkan, mulai dari Fikih Syafii, Akidah Ahlus Sunah, Sirah Rasul, Mawaris dan sebagainya.
Salah satu hal yang terbilang luar biasa dari Syeikh Hisyam adalah selalu membagikan kitab karangannya secara cuma-cuma.
Bahkan tidak jarang terdengar melarang dan memarahi mereka yang membeli buku karangannya. Hal yang jarang ditemukan di daerah kita.
Acara yang berlangsung tiga jam lebih tersebut ditutup dengan pembagian kitab secara cuma-cuma kepada hadirin. Syeikh Hisyam juga menegaskan akan memberikan sanad yang bersambung kepada pengarang kitab.
Masjid yang sudah sangat sepuh inipun menjadi saksi bernafasnya kembali Madrasah Syafiiyah yang telah melewati mati suri yang sangat lama.
Empat Madzhab Fikih
Masjid Sultan Hasan merupakan salah satu bangunan termegah di Kota Kairo, Mesir. Bangunan awet ini juga merupakan salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan-wisatawan asing.
Masjid bersejarah ini dibangun atas perintah Sultan Hasan bin Nasir Muhammad bin Qalawun, penguasa dinasti Mamluk waktu itu.
Sang Sultan kala itu ingin mendirikan sebuah masjid yang juga berfungsi sebagai madrasah agama yang ditujukan kepada pengikut Ahlus sunnah wal jamaah.
Di dalam masjid terdapat 4 ruangan besar yang dikhususkan untuk pelajar 4 mazhab fikih yang menjadi pijakan Ahlus Sunnah Wal Jamaah; Syafiiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Setiap mazhab mengambil satu ruangan tersebut untuk dijadikan madrasah.
Dibangun tahun 757 H/1356 M, masjid yang mempunyai arsitektur menawan tersebut masih tampak sangat gagah dan kokoh meskipun usianya yang sudah ratusan tahun.
Diceritakan oleh guru kami, Prof. Dr. Ali Jum’ah, Anggota Dewan Ulama Senior Al Azhar yang juga mantan Mufti Mesir, bahwa dulu Sultan Hasan menunjuk seorang ulama ahli qiraat untuk berdiam setiap hari di dalam Madrasah Syafi’iyah.
Ulama tersebut berada di sana mulai setelah Subuh sampai tengah hari untuk mendengarkan bacaan atau hafalan para pelajar. Sang Sultan juga memberikan 50 dirham (senilai 1000 pound Mesir sekarang) kepada setiap anak yatim yang telah menyempurnakan hafalan Al Quran nya. Jadi tidaklah heran jika masjid ini merupakan pusat pengajaran 4 mazhab fikih di masanya.
Dengan dibuka kembalinya madrasah tersebut, semoga tradisi belajar-mengajar ilmu agama yang bersanad sampai kepada Rasulullah terus tumbuh subur di negeri kinanah ini.*/Khalid Muddatstsir, penulis alumnus Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Al Azhar