SEDIAKAN payung sebelum hujan. Itulah kata pepatah yang menganjurkan kita untuk selalu antisipatif terhadap segala persoalan atau musibah yang bisa saja sewaktu-waktu menimpa kita. Melihat kondisi sekarang, umat Islam sudah bukan lagi dalam tahapan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi musibah atau ujian, tetapi umat Islam sudah harus segera mengatur strategi menanggapi serangan yang dilancarkan musuh Islam yang bertubi-tubi. Intinya, agar kita tidak terperosok ke dalam perangkap para pembenci Islam dan sekutunya.
Umat Islam secara objektif harus menyadari sepenuhnya bahwa perangkap dan serangan yang dilancarkan para pendengki Islam kian hari semakin gencar dan semakin variatif saja. Sehingga dapat memasuki setiap lingkup kehidupan dan waktu kita. Bukan saja perang fisik yang membahayakan umat Islam pada zaman ini, melainkan perang pemikiran (Ghazwul Fikr) melalui berbagai macam serangkaian serangan pemikiran yang menyesatka lagi menyimpang dari kemurnian Tauhid Islam.
Sebut saja film “?” karya Hanung Bramantyo. Film ini secara terang-terangan mengekspresikan paham pluralisme yang dibingkai dalam sebuah kisah yang menarik. Dari situ, adalah hal yang sangat menakutkan adalah: Bahwa film ini akan mengalirkan paham pluralisme kepada umat Islam yang menajarkan cara beragama yang bablas lagi absurd.
Film itu ingin menegaskan, tepatnya menggambarkan bahwa pindah agama adalah sebuah hal yang wajar dan sah-sah saja. Hanung bisa saja mengatakan bahwa film ini ia buat berdasarkan kisah nyata atau pengalaman dan tafsir ia pribadi. Tapi justru bagi saya, elakan gaya Hanung itu merupakan sebuah alasan untuk melindungi kesalahpahamannya terhadap konsep toleransi umat beragama dalam pandangan Islam.
Bahkan kalau mau berbicara lebih ekstrim lagi, dalam dugaan saya kemungkinan Hanung merupakan antek-antek JIL yang sedang mengkampanyekan kebebasan dan tata nilai libertarian. Ini terbukti dari sejumlah karya-karyanya yang selalu bernuansa agama tetapi naifnya kerap memencuatkan kontroversi di kalangan umat. Dalam filmnya, Hanung begitu bersemangat mengetengahkan coreng- moreng Islam yang bengis. Apakah karena ini juga merupakan proyek dan ada dana besar yang mengalir? Kalau ini saya hanya berani menduga.
Seperti kentut yang belum hilang baunya, kini umat Islam digemparkan dengan sejumlah kejadian aneh tapi nyata. Seakan tiada hentinya, aksi-aksi peledakan bom tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Ironisnya, yang menjadi sasaran kali ini adalah masjid dan ketika orang sedang berjamaah solat Jum’at.
Berbagai kabar angin dan hipotesa gegabah mewarnai pemberitaan media massa. Yang kita sedihkan, serentetan pewartaan itu sering kali salah kaprah yang kemudian secara sepihak mendiskreditkan Islam sebagai agama terror, agama yang tak kenal belas kasih. Semua tampak seperti sandawira yang telah terancang dengan sangat manis lagi bohay.
Entah strategi apalagi yang akan digunakan para phobia Islam untuk memporak porandakan Islam, dan menempatkan Islam sebagai musuh yang harus digasak oleh semua orang di dunia. .Sudah seyogianya kita harus mempersiapkan counter attack untuk memenangi “peperangan” ini.
Karena kekuatan kita belum menyatu untuk memberikan “serangan” balasan, maka dari itu, satu-satunya benteng terakhir adalah mawas diri dan keluarga dari segala bentuk penjajahan media dan anteknya. Kita jelas menolak segala bentuk kekerasan dan terror seperti ledakan bom yang marak akhir akhir ini.
Jangan kerena para terduga teroris itu lekat dengan pendidikan Islam, dengan jenggot, dengan celana cingkrang, dengan buku jihad, dengan cadar, kita (khususnya media dan pengamat) kemudian dengan tanpa ampun menilai orang sejenis itu sebagai teroris bahkan akan melarang kegiatan ektra-kurikuler.
Berapa banyak orang Islam dan mahasiswa baca buku-buku komunis, apa mereka langsung menjadi pengikut komunis? Lagipula, tak ada satupun pembaca buku-buku komunis dicap media “komunis” atau ditangkap pemerintah. Tapi mengapa justru sebaliknya?
Saya heran, mengapa banyak politisi, cendekiawan, pakar, bahkan termasuk wartawan berbagai media ikut logika seperti ini? tidak adakah sedikit kecerdasan dalam logika Anda sekalian?
Herannya pula, mengapa setiap ada kasus terorisme, media langsung (hanya) menggunakan sumber polisi?
Wallahu ‘alam bisshowab.
Mazlis Bin Mustafa
Mahasiswa STI Ekonomi Hidayatullah
Kota Depok, Jawa Barat