Hidayatullah.com | BEBERAPA waktu belakangan, dikarenakan harga kedelai yang makin mahal, maka perajin tahu tempe pun mogok massal.
Betapa tidak, harga kedelai yang awalnya Rp. 6.500 hingga Rp. 7.000 per kilogram memanjat naik hingga Rp. 9.200 bahkan Rp. 10.000 per kilogram. Dikabarkan bahwa kenaikan harga ini karena naiknya permintaan kedelai dari Amerika ke China yang awalnya 7.5 juta ton menjadi 9.2 juta ton.
Maka jadi lah kelangkaan kedelai di pasar Indonesia dan menaikkan harga hingga 50 persen.
Ketika kedelai langka dan naik harga maka akan berimbas pada produk berikutnya terutama tahu dan tempe. Tahu dan tempe yang menjadi sumber protein masyarakat yang murah.
Jika harga tahu tempe naik bahkan langka dipasaran maka para ibu tidak bisa lagi menyajikan makanan sumber protein ini di meja makan. Bagaimana nasib kecukupan gizi pada anak dan keluarga di Indonesia. Sementara protein adalah zat pengatur, zat pembangun dan zat pelindung tubuh. Tanpa protein manusia akan mengalami malnutrisi, rendahnya tingkat kecerdasan dan mudahnya terserang penyakit akibat imun badan yang berkurang.
Maka sebagai seorang ibu pun perlu untuk mencermati kebijakan publik yang tengah terjadi.
Jika diperhatikan kenaikan harga kedelai yang fluktuatif disebabkan oleh kesediaan nya di pasaran. Kesediaannya di pasaran dipengaruhi oleh jumlah pasokan dari negara lain ke pada kita. Bisa diartikan kita sudah sangat tergantung pada barang impor. Ketika barang impor tak masuk kita kelabakan.
Padahal sebagai negara yang menyandang predikat sebagai negara agraris, Indonesia tak sepatutnya mengalami persoalan pangan. Potensi alamnya yang begitu subur, lahan yang amat luas, sumber daya manusia yang banyak, seharusnya cukup untuk menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang tinggi.
Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya. Bukan karena faktor alam. Namun karena faktor di luar itu, kebijakan pangan yang diambil semakin kental dengan corak korporatokrasi. Keberpihakan kepada pemodal yang mencengkram pangan. Sehingga memperlemah ketahanan pangan yang berimbas pada akhirnya pada rentannya krisis pangan.
Corak ini bisa kita lihat salah satunya pada prubahan undang-undang nomor 18/2012 pasal 1 angka 7 yang menyatakan ” ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan”.
Namun dalam undang-undang cipta kerja, pernyataan tersebut diubah menjadi ” ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dan impor pangan”.
Terlihat jelas semakin tahun, kebijakan yang membuat krisis pangan terjadi semakin banyak. Berarti political will untuk melepaskan Indonesia dari jerat impor bisa dibilang tidak ada.
Islam, menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan, distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan yang hakiki yang berbeda dengan sistem kapitalisme yang mengagungkan prinsip kebebasan tanpa batas.
Islam sangat mementingkan prinsip kemandirian politik yang mencegah dan mengharamkan intervensi asing. Sehingga ketika kita mandiri, tak tergantung pada negara lain, kita pun bisa menentukan nasib bangsa kita sendiri. Nasib makanan rakyat kita, nasib pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan bahkan keamanan warga kita sendiri.
Maka dengan penerapan syariah secara kaffah itu akan terjadi.*
Syam Arham
Aktivis Muslimah Peduli Ummat | Aceh Barat