Hidayatullah.com — Penyelengggaraan haji yang ditangani swasta dinilai buruk. Indonesia pernah mengalami masa suram tatkala penyelenggaraan ibadah haji ada di tangan swasta ataupun berbentuk badan hukum lainnya.
“Para kakanwil, harus membaca sejarah ini. Kita harus memetik pelajaran dari masa lalu itu,” kata Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat saat rapat teknis penyelenggaraan ibadah haji pusat dan daerah tahun 1433 H/2012 M di Hotel Mercure Ancol Jakarta, dikutip laman Kemenag, Rabu.
Bahrul Hayat menjelaskan, pada zaman kolonial Belanda, jemaah haji mendapat perhatian umat islam sampai-sampai untuk berangkat haji pun penguasa saat itu memberi pas secara khusus bagi jemaah haji. Sepulang berhaji, hanya orang yang sudah menunaikan ibadah haji sajalah yang dibenarkan mengenakan songko putih. Di luar itu, orang dilarang.
Menjelang zaman kemerdekaan hingga pasca merdeka, Indonesia mencari bentuk pengelolaan penyelenggaraan haji. Pengalaman memperlihatkan, betapa buruknya pelayanan haji yang ditangani swasta, ujarnya.
“Sampaikan kepada publik, penyelenggaraan haji sudah mengalami perubahan dan terus menerus mengalami perbaikan,” katanya.
Terkait dengan alasan bahwa pemerintah cukup sebagai regulator haji, dan operatornya diserahkan ke badan khusus, ia menyatakan, pernyataan ini sering dikemukakan berbagai pihak. Namun sesungguhnya yang menyangkut pelayanan publik, di situ pemerintah harus hadir, tegasnya.
Fungsi regulasi ada di tangan pemerintah (eksekutif). Eksekutif memiliki tanggung jawab untuk mengatur publik berdasarkan undang-undang yang ada. Terlebih haji melibatkan banyak pemangku kepentingan dan jumlah jemaah sekitar 221 ribu orang setiap tahun. Apa lagi hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak, katanya.
Ia mencontohkan, di Amerika Serikat saja urusan angkutan umum ditangani pemerintah. Bukan swasta. Di Jerman, pendidikan dasar ditangani pemerintah sepenuhnya. Boleh dikelola swasta, tapi kualitasnya harus melebihi sekolah negeri. Dalam penyelenggaraan haji, swasta masih dilibatkan dalam penyelenggaraan ibadah haji khusus.
“Tetapi tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Ketika jemaah haji khusus sakit dan dirawat di Mekkah yang biayanya mencapai miliaran, tanggung jawab tetap di tangan pemerintah,” imbuh Bahrul.
Dalam pemaparannya tersebut Bahrul Hayat juga menjelaskan rencana ke depan dalam memperbaiki dukungan penyelenggaraan haji. Seperti Siskohat (kini disingkat menjadi Sistem Informasi dan komputerisasi haji terpadu) yang sudah harus direvitalisasi. Kota dan kabupaten di seluruh Indonesia sudah harus memiliki tenaga memadai untuk mendukung teknologi informasinya.