Hidayatullah.com—Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan berbagai ragam suku, bahasa dan agama selalu menarik untuk terus dikaji. Satu sisi perbedaan soal keyakinan menjadi modal dalam pembangunan, di sisi lain terkadang perbedaan dinilai menjadi batu sandungan.
Demikian sebagian yang terungkap dalam sebuah dialog lintas agama bertema “Membangun Karakter Bangsa dalam Perbedaan” di Bandung, Kamis (14/02/2013) kemarin.
Dalam kesempatan tersebut menghadirkan narasumber dari kalangan Kristen dan Islam.
Dalam paparannya Pendeta Dr. Anna B. Nenohara, M.Th dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), mengatakan selama ini umat Kristen terlihat mengalah dalam konflik horizontal khususnya dengan umat Islam. Menurutnya hal ini dilakukan sebagai bentuk mengedepankan sikap toleransi.
Anna mencontohkan maraknya pengrusakan atau penutupan paksa gereja-gereja selama ini menunjukan rendahnya sikap toleransi umat beragama. Kondisi tersebut diperparah dengan sikap pemerintah yang dinilai tidak tegas.
“Namun demikian hendaknya perbedaan dalam beragama tidak menjadi sumber konflik. Justru harus menjadi harmoni dalam membangun bangsa yang majemuk ini,” harapnya.
Anna yakin bahwa baik Kristen maupun Islam mengusung semangat pluralisme yang sama. Ia mencontohkan dalam penyebutan kata “Allah”. Sama dalam tulisan, hanya sedikit berbeda saat pengucapan.
Sementara itu Pdt. Ibrahim Syaifudin berpendapat bahwa penutupan atau pengrusakan gereja oleh pihak diluar Nasrani harusnya tidak menjadi masalah bagi umat Kristen. Karena menurutnya bangunan (gereja) bukan faktor atau alat utama dalam ibadah. Justru ia mengajak kepada umat kristiani agar bersyukur jika gerejanya di rusak, karena itu berarti misinya berhasil.
“Seperti domba di tengah srigala, kalau rusak ya bangun (gereja) lagi,”ujarnya.
Pendeta yang mengaku sebelumnya Muslim dan pernah menjadi guru di Pesantren Al Zaitun Indramayu itu menambahkan bahwa hanya ada dua agama misi di dunia ini yakni Kristen dan Islam. Sehingga wajar berpotensi konflik jika bertemu dalam satu ‘ladang’ yang sama.
Meski demikian, adalah anggapan salah jika agama dijadikan sumber konflik. Karena semua agama mengajarkan kasih dan sayang.
Sementara itu Pendeta Luga Tumbunan menyatakan bahwa untuk membangun bangsa Indonesia yang besar ini harus juga dibangun dengan semangat kebersamaan. Semua umat beragama harus beragama dengan baik dan benar dengan ketulusan hati serta jiwa.
“Sebenarnya solusi atas semua permasalahan yang ada cukup sederhana yakni bersama dalam nama Tuhan dan tidak tercerai berai,”ujar Pendiri King of King International Ministry tersebut.
Masjid perlu izin
Sementara itu, mewakili umat Islam, Dr.Cecep Sudirman Ashori mengatakan Islam tidak mengajarkan penyelesaian masalah dengan cara kekerasan. Ia menampik dengan tegas jika umat Islam bersikap intoleransi.
“Islam adalah agama paling toleransi, namun untuk urusan akidah tentu ada pembatasan makna toleransi. Pluralisme harusnya dimaknai secara utuh dan tidak setengah-setengah,”ujar Cecep yang mengaku mewakili Ketua MUI Kota Bandung tersebut.
Sementara itu soal penutupan atau pensegelan gereja hendaknya umat Kristen berlaku obyektif dan tidak mudah berkata intoleransi.
Fakta di lapangan banyak gereja atau tempat ibadah kaum Nasrani tidak berijin atau bermasalah dengan peraturan yang berlaku.
Ia juga menolak jika ada pernyataan bahwa mendirikan masjid tidak perlu ijin. Menurutnya meski mayoritas penduduk Indonesia Muslim namun untuk mendirikan sebuah masjid juga tidak bisa sembarangan dan semaunya.Ia mencontohkan lebih dari lima ribu masjid di Kota Bandung mempunyai ijin mendirikan bangunan (IMB) dan IMB nya untuk tempat ibadah.
“Bukan IMB nya rumah tinggal kemudian dipakai untuk masjid,” sindirnya.
Sementara itu kristolog asal Bekasi Insan.LS.Mokoginta berpendapat bahwa semua agama ada persamaan dan perbedaan. Namun demikian perbedaan bukan harus diperdebatkan tetapi didialogkan dengan mengemukakan dalil atau sumber yang ilmiah bukan sekedar debat kebenaran sepihak.
“Kalau tuhannya sama, kenapa babi dalam Islam haram sedang di Kristen tidak. Atau yang satu memandang Nabi Isa sebagai utusan bukan sebagai tuhan. Seperti ini contoh yang perlu kita dialogkan dengan mengemukakan dalil yang ilmiah, hati yang jujur untuk menerima kebenaran,” jelasnya.
Senada dengan Cecep, Insan juga meminta umat Kristen untuk jujur dalam menanggapi soal penertiban gereja atau tempat ibadah.
Ia juga berharap agar kaum Nasrani mengikuti hokum atau aturan negara yang berlaku. Jika semua aturan main telah terpenuhi maka sudah bisa dipastikan mereka aman dan tidak akan mendapat hambatan dan gangguan.
Sementara menanggapi soal membangun karakter bangsa,Insan berpendapat hal itu mungkin saja bisa dilakukan.Namun jika karakter berlandaskan agama maka hal tersebut sangat mustahil dibangun dalam agama yang berbeda.
“Kalau kerukunan umat beragama sangat mungkin dilakukan.Namun jika agama disuruh rukun sangat mustahil. Apa mungkin Jum’at mereka ikut ke masjid lalu Minggu kita ikut ke gereja?,”paparnya.
Meski peserta diskusi didominasi kaum Muslim dan sempat memanas, namun dialog berjalan dengan tertib dan lancar.Di sesi dialog semua narasumber sepakat meminta kepada pemerintah khususnya aparat penegak hukum agar bertindak tegas dalam menjunjung wibawa hukum serta menerapkan peraturan yang berlaku dalam menyelesaikan konflik horinzontal.*