Oleh: Eka Sugeng Ariadi
BELUM lama ini Direktur Indonesia Research Centre Jakarta, Agus Sudibyo, dalam harian Kompas (25/09/2013), melaporkan bahwa hasil hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan angka golongan putih (golput) dalam Pilkada Jawa Timur yang baru berakhir: 40 persen. Kenyataan ini kian menegaskan kegelisahan tentang rendahnya minat masyarakat terhadap suksesi kepemimpinan.
Kasus di Jawa Timur tak sendirian. Pilkada Jawa Tengah beberapa bulan lalu menghasilkan golput 48 persen. Pilkada Jawa Barat Februari 2013 dimenangi pemilih golput dengan 36 persen. Yang paling fenomenal tentu saja Pilkada Sumatera Utara: golput 60 persen.
Kenapa pemenangnya adalah golput?
Kesimpulannya warga Jawa Timur memilih atau terpaksa menjadi golput bisa karena apatis terhadap politik atau karena alasan teknis dan alasan politis-rasional.
Edelman Trust Barometer 2013, sebuah lembaga survei asing, pun tertarik mengupas fenomena hiruk pikuk jalannya proses demokrasi di negeri ini.
Menurut CEO Edelman Indonesia, Stephen Lock, mengungkapkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah meningkat dari 40 persen pada 2012 menjadi 47 persen pada 2013. Hasil surveinya menyimpulkan sebagian besar responden mempersepsikan pemimpin bisnis dan pemerintahan sebagai orang-orang yang kurang dapat dipercaya dan kurang mampu dalam memecahkan masalah sosial dan membuat keputusan dengan pertimbangan etika dan moral yang tepat. Meski ada peningkatan prosentase, namun kesimpulan hasil survei patut untuk dijadikan evaluasi dan instropeksi diri.
Inilah potret dunia politik, sosial kemasyarakatan, dan kehidupan berbangsa bernegara di negeri kita tercinta, NKRI. Betapa tidak mudahnya menumbuhkan trust (kepercayaan) rakyat terhadap para pemimpin-pemimpinnya.
Begitupun sebaliknya, para calon-calon pemimpin harus kerja ekstra-keras hanya sekedar berebut meraih trust rakyat agar mau memilihnya sebagai seorang pemimpin. Kerja ekstra-keras itu tidak hanya sekedar fisik tapi juga finansial. Sekedar untuk menjadi seorang pemimpin di desa saja, sudah harus menyiapkan uang puluhan juta. Apalagi ingin jadi pemimpin di tingkat lebih tinggi lagi. Sungguh, sumber trust (kepercayaan) di negeri ini sangat mahal harganya. Bila sebuah trust itupun terbeli, hasil akhirnya belum tentu juga membawa kemaslahatan bagi yang mempercayainya sebagai pemimpin. Adakah sumber trust yang lebih murah?
Sumber Kepercayaan Umat
Adalah Muhammad bin Ja’far pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah صلى الله عليه و سلم . “Ya Abalqasim,” kata utusan itu, “Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin terhadap kaum Muslimin.”
Rasulullah صلى الله عليه و سلم menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka seraya berkata, “Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.” Rasululah menyebut “amin” (terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.
Tak lama kemudian beritapun tersebar di tengah-tengah para sahabat ra. Masing-masing ingin ditunjuk oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم menjadi utusan. Umar ra mengungkapkan, “Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah صلى الله عليه و سلم untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya.”
Rasul صلى الله عليه و سلم masih tetap mencari seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan.”
Rasulullah صلى الله عليه و سلم pernah bersabda yang maksudnya, “Setiap umat mempunyai sumber kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Itulah penghargaan ‘bintang mahaputra’ yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau dilihat dari kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu. Sekalipun ia tidak mengharapkannya.
Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadhu’, pemalu itulah di antara sifat yang paling menonjol dari Abu ‘Ubaidah bin Jarrah r.a.
Tapi ini bukan berarti, bahwa Rasulullah صلى الله عليه و سلم tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Abdullah bin ‘Umar pernah menjelaskan perwatakan Abu Ubaidah ini, “Tiga lelaki Quraish yang paling berseri wajahnya, paling baik akhlaknya, dan paling teguh sifat malunya; Jika mereka berkata kepadamu, mereka tidak berdusta. Jika kamu berkata kepada mereka, mereka tidak akan mendustakannya. Mereka adalah Abu Bakar, Utsman bin ‘Affan dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Berendah Hati
Begitulah potret nyata dunia ‘perpolitikan’ dan sosial kemasyarakatan yang luar biasa telah dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan para shahabatnya.
Bukankah teladan dari seorang Abu Ubaidah bin al-Jarrah sudah seharusnya menjadi blue print bagi para calon pemimpin dan bagi pemimpin untuk meraih trust rakyat yang dipimpinnya. Persyaratan utama yang dibutuhkan seorang pemimpin adalah jujur, tawadu’ (rendah hati) dan pemalu. Jujur dalam mengemban amanah jabatan. Bila memberikan laporan pertanggungjawaban kepada rakyatnya tidak suka berdusta. Kemudian tawadhu’ (rendah hati) kepada rakyat-rakyatnya, karena pada hakekatnya pemimpin adalah pelayan bagi rakyat. Bukan malah sebaliknya, pemimpin selalu ingin mendapatkan pelayanan yang lebih istimewa. Lalu, malu bila sebagai pemimpin tidak bisa memenuhi janji-janjinya ketika berkampanye. Malu bila sebagai pemimpin tidak lagi amanah dalam kepemimpinannya.
Semoga seluruh pemimpin dan calon pemimpin di negeri ini benar-benar mau berusaha memiliki akhlak mulia, seperti jujur, tawadhu’, malu dan lain sebagainya. Niscaya, menjadi sumber kepercayaan tidak akan mahal, takkan mudah dibeli dan pasti dicari.*
Penulis adalah Guru Madrasah Aliyah As Sholchah Warungdowo, Pasuruan Jawa Timur