Oleh: Ahmad Djalaluddin
Hidayatullah.com | PADA akhirnya, semua berpotensi terpapar Covid-19. Ibarat angin yang berhembus, bisa menerpa siapa saja. Bahkan yang berada di dalam rumah, selama ada celah, maka angin akan menembusnya.
Virus yang diklaim berasal dari Wuhan (Cina) itu mengancam siapa saja, yang protektif maupun yang abai. Di antara yang melakukan isolasi diri, ada yang terinfeksi. Tapi, banyak juga yang aman.
Di antara yang mengabaikan protokoler kesehatan, ada yang terinfeksi hingga berujung kematian. Tapi banyak juga yang aman tak terpapar.
Itulah takdir kehidupan. Kita tak mengetahui apa yang akan terjadi dengan diri di beberapa detik ke depan. Ghaib dan misteri, hanya Allah Ta`ala yang mengetahui.
Meskipun berada dalam buruuj musyayyadah (benteng yang tinggi dan kukuh), bila Allah `Azza wa Jalla menghendaki Covid-19 sebagai sebab kematian seseorang, maka tak mungkin dihindari (QS: an-Nisa’: 78).
Tapi, manusia diperintah untuk ikhtiar. Yaitu berusaha menjaga diri (hifdhu an-nafsi) dan menghindari segala hal yang masuk dalam katagori ilqaau an-nafsi ilaa at-tahlukah (menjatuhkan diri dalam kebinasaan) (QS: al-Baqarah: 195).
Menghadapi “ketidakpastian” apa yang akan menimpa itu, Allah menghendaki kepastian kebaikan bagi seorang Mukmin. Semestinya ada ikhtiar, bahwa Mukmin harus memperoleh kebaikan.
Meskipun aman, sehat, dan tidak terinfeksi, Mukmin mendapat kebaikan. Sekalipun termasuk yang harus dikarantina, Mukmin juga mendapat kebaikan.
Terinfeksi atau tidak, kehidupan Mukmin tetap baik. Tapi, kebaikan oleh faktor iman (khairiyah imaniyah) itu bukan karena terpapar atau tidak terinfeksi, melainkan oleh sikap yang ditunjukkan ketika melakukan isolasi diri atau saat dikarantina di bilik-bilik rumah sakit. Tentunya, khairiyah imaniyah yang dimiliki Mukmin tidak sama.
Kita akan belajar dari sikap prajurit saat menghadapi perang fisik. Pertama, tentara yang waspada, berhati-hati, dan berstrategi agar tak terbidik musuh. Kedua, tentara yang ceroboh, tak melindungi diri, bahkan memaparkan diri pada serangan dan bidikan lawan.
Tentunya, antara dua prajurit ini berbeda. Andai keduanya gugur di medan laga, dipastikan khairiyah imaniyah yang ada pada diri masing-masing berbeda.
Dalam perang budaya juga demikian. Pertama, orangtua yang sangat konsen pada pendidikan anak. Aspek-aspek holistik dalam tarbiyah (pendidikan) ia tanamkan pada keturunannya; ruhiyah (spiritual), nafsiyah (psikologi), jasadiyah (fisik), fikriyah (intelektual), ijtima`iyyah (sosial), dan sebagainya.
Kedua, orangtua yang cenderung mengabaikan bina aqidah, ibadah, dan akhlaq pada putra-putrinya. Bahkan boleh jadi memberi fasilitas pada anak yang memudahkan bagi mereka untuk menyimpang.
Dipastikan, kedua orangtua itu berbeda. Bila pada akhirnya anak-anak dari dua pola orangtua itu terpapar syubhat dan syahwat, dipastikan bahwa nilai masing-masing berbeda.
Meskipun Kan`an enggan tunduk kepada perintah Allah, itu tak mengurangi khairiyah imaniyah pada diri Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Beliau sudah berusaha maksimal, tetapi fakta Kan`an lebih memercayai gunung yang ia anggap akan melindunginya dari banjir.
Sementara Rabi`ah bin Abdu Syams menyiapkan putranya, Syaibah bin Rabi`ah, menjadi penentang risalah Rasulillah ﷺ. Akhirnya dia pun menjadi penentang kebenaran.
Kan`an dan Syaibah memiliki kesamaan, yaitu ingkar kepada Allah. Tapi antara Nabi Nuh dan Rabi`ah pasti berbeda.
Sikap terhadap “perang virus” juga sama. Ada yang cenderung longgar bahkan berpandangan kalau Allah mentakdirkan terinfeksi, maka terjadilah. Dan bila takdir menetapkan sehat, maka tak akan berurusan dengan tim pemulasaran jenazah Covid-19.
Sikap ini tentu tidak sama dengan yang berniat menunaikan pesan Rasulullah ﷺ: “Jika kalian mendengar wabah penyakit melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian ada di dalam negeri itu, maka jangan keluar untuk lari daripadanya.” (Riwayat Bukhari).
Bila ternyata, antara yang abai dan yang protektif sama-sama terinfeksi, dipastikan ada perbedaan antara keduanya. Antara jabaraiyah, qadariyah, dan ahlus-sunnah berbeda dalam menyikapi ancaman bahaya. Dampaknya pada khairiyah imaniyah dipastikan juga berbeda.
Jabariyah berkeyakinan bahwa semua dalam kuasa aturan Allah. Tak ada ruang bagi ikhtiar insani. Manusia hanya menjalani nasib, terinfeksi atau tetap sehat. Protektif atau longgar bila Allah menghendaki terinfeksi, maka jadilah.
Sedangkan keyakinan qadariyah meniscayakan ikhtiar. Manusia harus berusaha mencegah Covid-19 yang ganas itu, karena manusia memiliki kebebasan menentukan nasib hidupnya. Keseriusan pada isolasi dirilah yang bisa mencegah terjadinya infeksi diri.
Keduanya berbeda dengan ahlus-sunnah yang membangun relasi secara simultan (bersamaan) antara ikhtiar, sabar, dan tawakkal. Bahwa sabar dan tawakkal itu ada dalam ikhtiar karena manusia itu khalifah dalam kehidupan. Bahwa tawakkal dan ikhtiar itu harus dengan kesabaran agar lulus dalam ibtilaa` (ujian) dan agar terjaga kesinambungan. Dan bahwa ikhtiar dan sabar harus dibalut dengan tawakkal agar tidak takabbur.
Karena itu, agar mendapat khairiyah imaniyah, diperlukan kontekstualisasi dari pesan-pesan wahyu dalam menghadapi wabah. Ibnu al Qayyim Rahimahullah dalam Kitab Zaad al-Ma`aad berusaha menyelami pesan-pesan Nabi yang mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap wabah. Beliau mencatat beberapa hikmah di balik pesan-pesan itu bahwa karantina wabah mengandung manfaat yang sangat konstekstual untuk situasi saat ini, yaitu:
–Tajannub al-asbab al-mu`dziyah wa al-bu`du minha (menghindari dan menjauhi sebab-sebab terinfeksi wabah: isolate)
– Al-akhdzu bi al-`afiyah allati hiya maadatu al-ma`aasy wa al-ma`aad (menjaga kesehatan sebagai modal hidup di dunia dan akhirat: take care of your health)
–Laa yastansiquu al-hawa`a alladzi qad `afana wa fasada fa yushibahum al-maradlu (tidak menghirup udara yang tercemar kuman: face mask)
–An laa yujaawiruu al-mardla fa yahshula lahum bi mujawaratihim min jinsi amradlihim (tidak mendekati orang yang sudah terkena penyakit itu hingga berakibat tertular: physical distancing)
–Himayat an-nufus `ani ath-thirah wa al-`adwa (membuang pikiran dan perasaan buruk, tidak terpengaruh oleh ramalan, fantasi, dan sebagainya: positive thinking, optimistic)
Pada akhirnya, bila ikhtiar telah dilakukan dengan balutan sabar dan tawakkal, tetapi Allah menghendaki terinfeksi covid-19, khairiyah imaniyah tetap melekat pada diri. Wallahu a`lam bisshawab.*
Penulis adalah dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang