Hidayatullah.com | Masjid al-Aqsha berulang kali dijajah, juga dibebaskan oleh kaum Muslimin. Sejarah membuktikan, ketika dikuasai oleh non-Muslim, masjid suci ini selalu dihinakan.
Era Syiah
Pasca dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khaththab RA, kawasan Baitul Maqdis menjadi damai. Kondisi ini berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah. Namun situasi berubah ketika dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah di penghujung tahun 900-an.
Kekaisaran Fatimiyyah berpusat di Mesir. Mereka berhasil merebut kawasan Baitul-Maqdis sesudah mengalahkan pasukan Abbasiyah di Ramalah. Para penguasa Fatimiyah yang merupakan pemeluk sekte Ismaili Syiah –dengan demikian bukan Muslim– ini mulai melakukan perusakan terhadap Masjid al-Aqsha.
Selama berabad-abad, Masjid al-Aqsha telah menjadi pusat penyebaran dan pengembagan ilmu, mulai dari bahasa Arab sampai hukum dan aqidah. Semua itu dihentikan oleh penguasa Fatimiyah dan diganti dengan lembaga-lembaga Syiah.
Masa paling buruk terjadi di bawah kekuasaan al-Hakim (mulai tahun 996). Bukan saja menindas kaum Muslimin, dia bahkan memproklamirkan dirinya sebagai tuhan. Al-Hakim juga memerintahkan agar namanya menggantikan nama Allah dalam khutbah Jumat.
Al-Hakim melarang puasa Ramadhan dan berhaji ke Makkah. Di ujung kekuasaannya (tahun 1021), kawasan Baitul-Maqdis sudah bukan lagi menjadi pusat keilmuan Islam.
Akhirnya al-Hakim digantikan oleh sultan-sultan yang lebih “moderat” dan lebih bersahabat. Sesudah gempa bumi besar pada tahun 1030, Masjid al-Aqsha kemudian direnovasi.
Pada tahun 1073, Baitul-Maqdis direbut oleh Turki Seljuk yang merupakan Muslim Sunni dari Asia Tengah. Artinya, Masjid al-Aqsha kembali ke tangan kaum Muslimin.
Tradisi ilmu kembali berkembang. Ma’had-ma’had didirikan. Ulama berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengajar dan belajar, termasuk Abu Hamid al-Ghazali yang pindah ke Baitul-Maqdis pada tahun 1095. Dia tinggal di sudut timur kompleks Masjid al-Aqsha untuk beribadah dan menyelesaikan kitabnya, Ihya’ Ulumuddin.
Penindasan Salibis
Namun geliat bangkitnya kehidupan ilmu di Masjid al-Aqsha tidak bertahan lama. Datanglah Pasukan Salib.
Pada tahun 1095, Kaisar Romawi Timur, Alexios, meminta bantuan kepada Paus Urbanus II di Roma untuk memerangi bangsa Seljuk di Semenanjung Antalya. Jawaban Paus adalah Perang Salib I. Tujuannya bukan untuk memerangi bangsa Seljuk, melainkan merebut Baitul-Maqdis dari tangan kaum Muslimin dan mendirikan kerajaan Katolik.
Sungguh sayang, waktu itu para pemimpin dan jenderal Muslim dalam keadaan berpecah belah. Sulit untuk bangkit melawan. Akibatnya, Pasukan Salib bisa terus merangsek maju.
Pada tahun 1099, Pasukan Salib sampai di Baitul-Maqdis. Dinasti Fatimiyah yang ketika itu sudah merebut kembali kawasan ini dari bangsa Turki Seljuk tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Akhirnya pada 15 Juli 1099, tentara-tentara Salib menerobos tembok dan masuk ke kota Baitul-Maqdis.
Terjadilah peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Masjid al-Aqsha. Tentara-tentara Kristen menyatakan bahwa mereka akan menghabisi semua orang. Akibat ancaman itu, maka kaum Muslimin mengungsi dan mencoba berlindung di Masjid al-Aqsha. Namun Pasukan Salib berhasil masuk dan membantai semua orang yang berada di dalamnya.
Sejarah mencatat bahwa sejumlah tentara Salib menuliskan pembantaian yang mereka lakukan dengan penuh kebanggaan. Satu di antara mereka menyatakan betapa indahnya pemandangan para tentara Salib “berkubang darah sampai ke lutut” di dalam Masjid al-Aqsha!
Musnahnya kaum Muslimin di Baitul-Maqdis memungkinkan orang-orang Kristen melakukan perubahan di Masjid al-Aqsha. Penguasa pertama yang bernama Godfrey, menjadikan masjid tersebut sebagai kediamannya. Interior diubah sama sekali menjadi istana dengan dinding-dinding, ruang, dan taman-taman baru.
Semua tanda bahwa itu masjid, ditutup dan disingkirkan. Kaligrafi-kaligrafi ditutupi, sajadah-sajadah disingkirkan, dan mihrab-mihrab ditembok dengan batu bata.
Qubatush-Shakhrah atau Dome of the Rock diubah menjadi gereja yang diberi nama Temple of the Lord (Kuil Tuhan). Mereka menutup atau menyingkirkan semua tanda bahwa bangunan ini adalah bagian dari Masjid al-Aqsha. Batu di bawah kubah itu ditutup dengan marmer dan dijadikan altar.
Pembebasan Shalahuddin
Pada tahun 1180, tampillah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Pahlawan berdarah Kurdi itu berhasil menyatukan berbagai negeri Muslim di sekitar Baitul-Maqdis. Pasukan Muslimin bersatu padu sehingga berhasil membebaskan Baitul-Maqdis dari cengkeraman kaum Salib (tahun 1187).
Berbeda dengan yang dilakukan orang-orang Kristen 88 tahun sebelumnya, ketika pasukan Shalahuddin berhasil menaklukkan kaum Salib, tak ada yang namanya pembantaian. Orang-orang Kristen/tentara Salib hanya diminta untuk keluar dari kawasan Baitul-Maqdis. Kompleks Masjid al-Aqsha akhirnya bisa dikuasai kembali oleh kaum Muslimin.
Salahuddin bersumpah akan membersihkan kembali Masjid al-Aqsha dalam satu pekan sesudah pembebasan, dan menyiapkan untuk shalat Jumat. Sama seperti Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab RA 550 tahun sebelumnya, Shalahuddin bekerja sama dengan Mujahidin membersihkan Masjid al-Aqsha dengan tangan mereka sendiri.
Berbagai sisa bangunan Kristen dibongkar. Kamar-kamar mandi dan perabotan yang ditinggalkan tentara Salib dikeluarka dari Masjid Jami’ al-Qibly. Tempat itu kemudian dibersihkan dengan air mawar oleh tangan Shalahuddin sendiri.
Mihrab dibuka kembali. Kaligrafi-kaligrafi nan indah kembali dipampangkan. Shalahuddin juga memasukkan sebuah mimbar ke Masjid Jami’ al-Qibly. Mimbar itu sudah disiapkan oleh Nuruddin Zanki di Damaskus sekian tahun sebelumnya, sebagai persiapan untuk menyambut pembebasan Baitul-Maqdis.*/Ditulis oleh tim peneliti Institut al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA) (Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2018).*