Hidayatullah.com–Memahami akal dan iman sebagai hubungan yang terpisah adalah cara berfikir yang keliru. Orang yang berfikir demikian berarti telah terjebak dengan budaya ilmu Barat yang rusak.
Hal itu dinyatakan oleh Dr. Abas Mansur Tamam, Sekretaris Prodi Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, di depan mahasiswa Pascasarjana UIKA di Gedung KH. Sholeh Iskandar UIKA belum lama ini.
“Justru manusia yang enggan menggunakan akalnya itu diancam dengan Neraka Sa’ir nantinya,” ungkap Abas sambil mengutip ayat ke-10 surah al-Mulk.
Menurut Abas, akal dan nalar manusia adalah bukti kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Keduanya menjadi sarana untuk meningkatkan keimanan kepada Allah Ta’ala dan bukan sebaliknya dipakai menggerus keyakinan dan fitrah terhadap kebenaran agama Islam. Iman dan ilmu saling berhubungan dalam kesatuan integrasi yang mengokohkan satu dengan yang lain.
“Akal itu dipandu dengan cahaya keimanan dalam menemukan kebenaran dan pondasi iman itu kian kokoh dengan dasar ilmu yang benar,” papar Abas.
Sebaliknya, bagi yang tercemari pemikiran sekularisme, mereka beranggapan bahwa agama hanya mengekang kecerdasan akal dan kebebasan berfikir manusia.
Alhasil, kini Barat mengklaim peradaban mereka “maju” justru ketika telah meninggalkan Tuhan dan ajaran agama. Ironis, sebab pemikiran sekularisme tersebut mulai menjangkiti sebagian masyarakat Muslim saat ini.
“Inilah dampak paling berbahaya dari sekularisasi ilmu yang sedang menimpa kehidupan manusia. Adanya upaya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum lainnya,” terang Abas.
Akibatnya, tak sedikit yang menganggap ketika mengkaji ilmu kedokteran atau sains, misalnya, seolah tidak ada relevansinya dengan ajaran agama. Jikapun dihubungkan, maka terkadang yang terjadi adalah konten tersebut jauh dari agama. Bahkan seolah ilmu tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama.
“Terjadi dikotomi ilmu dan semua itu adalah hasil dari peradaban Barat yang menguasai kehidupan manusia,” sebut pria yang disertasi berjudul “Tren Liberal dalam Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia” ini.
Di hadapan puluhan mahasiswa Abas juga menjelaskan kekeliruan Barat yang mengabaikan perihal metafisik atau hal ghaib dalam kehidupan manusia. Barat mengatakan suatu ilmu jika didasari dengan fakta empirik (nyata) semata. Puncaknya mereka merasa tidak membutuhkan lagi peran Tuhan dalam kehidupannya Ujar Abas menerangkan.
“Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah dalil naqli dan sumber ilmu yang bersifat mutlak,” imbuh Abas kembali.
Terakhir, Abas yang menamatkan seluruh jenjang akademiknya di Universitas al-Azhar Kairo, mengingatkan para orangtua dan guru-guru agar memperhatikan pendidikan akal di atas. Sebab dengan pemberdayaan akal yang benar dan cara berfikir yang produktif, umat Islam pernah memuncaki sejarah peradaban manusia.
Sebaliknya, ketika keliru dalam menggunakan karunia nalar, justru yang terjadi adalah bencana ilmu dan malapetaka yang menimpa seluruh umat Islam.*/Masykur Abu Jaulah