Oleh: Muh. Nurhidayat
SEKITAR 20 tahun silam, ada seorang perempuan tua renta di sebuah kota AS yang hendak menyeberang jalan raya. Ia berpenampilan lusuh dan terlihat seperti orang miskin. Ketika lampu lalu lintas bagi penyeberang jalan menunjukkan warna hijau, ia melangkah tertatih-tatih menyusuri zebra cross. Perempuan lansia itu melangkah dengan sangat lambat, sampai-sampai ia masih berada di tengah jalan raya, meskipun lampu bagi penyeberang sudah menyala merah. Di tengah jalan itu, ia sangat ketakutan karena mobil-mobil dari kedua arah melaju kencang. Bahkan beberapa mobil yang melintas hampir saja menabraknya.
Ia terpaksa berdiri pasrah—dan tentu saja ketakutan—di tengah jalan raya yang ramai lalu-lalang mobil itu. Setelah lampu bagi penyeberang menunjukkan warna hijau kembali, ia pun berusaha melangkah agak cepat meskipun tetap tertatih-tatih hingga mencapai seberang jalan yang dituju. Orang-orang di sekitarnya cuek dan sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang peduli, apalagi mau menolongnya menyeberang jalan. Padahal mereka melihat perempuan itu kesulitan menyusuri zebra cross.
Orang-orang sekitar tiba-tiba memperhatikan (maksudnya hanya memandangi) perempuan lansia itu, setelah seorang laki-laki tua mengatakan bahwa perempuan itu adalah X (nama dirahasiakan), bintang majalah dan film porno pada dekade 50-an silam. Ia mengalami nasib menyedihkan pada masa tuanya. Tidak ada lagi yang mengenalnya, apalagi orang-orang dari generasi sesudahnya. Padahal di masa mudanya, ia adalah artis terkenal dan banyak dipuja oleh para lelaki saat itu.
Masih di AS, ada seorang wanita lansia yang demi sesuap roti, ia harus menjadi pengemis di sebuah pusat keramaian. Hanya orang-orang seusianya lah yang tahu, bahwa wanita peminta-minta itu semasa mudanya (tahun 1970-an) adalah seorang model terkenal majalahPlayboy, yang banyak dipuja kaum lelaki.
Kisah nyata di atas patut menjadi bahan renungan bagi kaum wanita, terutama para remaja putri. Saat ini semakin banyak para remaja putri yang bercita-cita menjadi artis. Hal ini nampak dengan tidak sedikitnya para wanita muda yang menjadi peserta sejumlah reality show—pencarian calon artis—di televisi. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata banyak pula gadis berjilbab yang ikut-ikutan bangga menjadi penghibur.
Sebagai contoh, ada seorang gadis berjilbab beberapa tahun lalu mengikuti reality show semacam itu di sebuah televisi. Semula ia telah diingatkan sejumlah tokoh agama untuk tidak terjebak dalam acara yang cenderung merendahkan harkat dan martabat perempuan, apalagi ia berjilbab. Namun ia terlalu silau oleh gemerlap dunia artis, sehingga tidak mengindahkan lagi peringatan dari para tokoh agama. Ia pun terpilih sebagai pemenang dalam ajang calon artis tersebut. Ia pun merasa mendapatkan jalannya menjadi penghibur terkenal di usia yang masih sangat muda, sehingga tawaran menjadi model banyak iklan pun menghinggapinya.
Perdagangan Perempuan Penghibur
Artis perempuan pada hakekatnya adalah korban perdagangan perempuan di dunia hiburan. Mereka hanya dibutuhkan—lebih tepat dieksploitasi—fisiknya yang muda dan cantik. Dunia hiburan tidak membutuhkaan intelektualitas yang mereka miliki. Maka tidak mengherankan jika banyak di antara mereka yang enggan menuntut ilmu setinggi mungkin. Sebab pekerjaan yang mereka geluti tidak mengharuskannya ‘pintar-pintar amat’.
Namun ketika sudah tidak muda lagi, apalagi tidak cantik lagi, mereka akan dicampakkan begitu saja oleh dunia hiburan yang telah membuatnya terkenal. Malah saat ini banyak artis yang masih muda, bahkan juga masih cantik pun sudah tidak—atau minimal kurang—laku di jagad entertainmen. Sebab artis-artis pendatang baru yang jauh lebih muda dan lebih cantik terus banyak bermunculan untuk menggeser ketenaran—dan tentu saja pekerjaan—mereka.
Maka tidak mengherankan, banyak artis perempuan terperosok dalam lembah prostitusi kelas atas. Sumber terpercaya dari kalangan infotainmen menyebutkan bahwa tarif mereka berkisar antara belasan hingga ratusan juta rupiah untuk sekali kencan. Yang menyedihkan lagi, ada pula artis berjilbab—meskipun sebatas kudung gaul—terlibat dalam prostitusi ini.
Perdagangan perempuan di dunia hiburan direalisasikan dalam wujud pornografi media massa, baik melalui iklan, infotainmen, musik, sinetron, maupun film layar lebar. Pakar komunikasi Universitas Diponegoro, Sunarto (2009) memandang tipikal umum media massa memperlakukan perempuan sebagai objek seksual, objek fetish, serta objek pelecehan atau kekerasan seksual.
Penggagas teori tatapan lelaki (male gaze), Laura Mulvey (2006), menilai artis perempuan selalu menjadi korban scopophilia, yaitu insting yang menjadikan perempuan sebagai objek tontonan erotis untuk ‘kesenangan’ pandangan laki-laki. Sehingga seringkali pengambilan gambar (pada adegan film, lagu, maupun iklan) berfokus pada bagian-bagian tubuh tertentu perempuan yang dapat membangkitkan hasrat laki-laki.
Scopophilia, menurut Mulvey (2006) direalisasikan dalam bentuk fetitisme dan voyeurisme. Fetitisme dibangun dengan—propaganda yang menyatakan bahwa—perempuan dicitrakan memiliki keindahan fisik sehingga merasa puas atas dirinya sendiri dan tidak sadar kalau mereka dieksploitasi. Sementara itu, voyeurisme merupakan fenomena sadis yang dialami perempuan di dunia nyata—seperti pemerkosaan, pelecehan seksual—namun dalam dunia hiburan dieksploitasi sebagai materi tontonan untuk kesenangan laki-laki.
Di Indonesia, banyak sekali sinetron yang menampilkan voyeurism berupa adegan kejahatan seksual secara vulgar. Contoh kecil adalah sinetron ‘Kamar No. 05’ (TVRI, 1994), ‘Bukan Perempuan Biasa’ (RCTI, 1997), ‘Dendam Nyi Pelet’ (Indosiar, 2001), ‘Perawan Desa’ (SCTV, 2006), ‘Murni, Istri yang Dijual Suami’ (SCTV, 2006), serta sinetron-sinetron yang tayang sesudahnya. Bahkan termasuk sinetron yang—katanya—bergenre religius sekalipun.
Perdagangan perempuan di dunia hiburan adalah kejahatan kemanusiaan yang ‘menyilaukan’ para korbannya. Melalui fetitisme, para artis perempuan dimanjakan dengan limpahan materi dan popularitas. Mereka seakan bisa menggenggam dunia meskipun harus mengorbankan kehormatannya. Bukankah pekerjaan yang mereka geluti sudah dapat dikatakan memasuki ranah tabarruj atau pamer aurat? *
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo