Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Mahmud Budi Setiawan
KETAATAN kepada perintah Allah –bagi mereka- pasti berbuah manis. Keyakinan mereka sungguh tidak sia-sia. Kehadiran mereka telah ditunggu-tunggu oleh penduduk Muslim Madinah. Dengan sangat menarik, al-Qur`an mengabadikan mereka dengan nama ‘kaum Anshar(kaum penolong)’. Anda bisa melihat bagaimana sambutan baik mereka ketika kaum Muhajirin datang.
Al-Qur`an menceritrakan: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntun”(Qs. Al-Hasyr: 9).
Salah satu contoh menarik ialah peristiwa yang terjadi antara Sa`ad bin Rabi` dengan Abdurrahman bin `Auf. Waktu itu –meskipun sebelumnya Abdur Rahman bin `Auf adalah saudagar kaya, namun ketika hijrah ia telah menjadi papa(miskin)- Sa`ad bin Rabi` pun menawarkan membagikan separuh hartanya kepada Abdurrahman, bukan hanya itu, ia yang memiliki lebih dari seorang istri, menawarkan pada Abdurrahman agar memilih yang paling disukai, kemudian akan diceraikan dan akan dinikahkan dengan dirinya. Mendapat tawaran yang tulus dan menggiurkan tersebut, Abdurrahman bin `Auf tidak sampai hati untuk mengiyakan. Ia sangat pandai menjaga harga dirinya. Ia hanya meminta bantuan agar diberitahu pasar terdekat.
Setelah itu ia pun berniaga sampai akhirnya menjadi saudagar sukses kembali.
Lihat betapa manisnya hubungan timbal-balik yang romantis antara kedua sahabat muhajirin dan anshar ini. Sebuah gambaran luar biasa yang bukan hanya bernilai kemanusiaan, persaudaraan, tapi juga bernilai ketuhanan. Sifat rubūbiyah Allah, seolah-olah tergambar jelas terhadap komunikasi dinamis antara kaum muhajirin dan Anshar.
Kita mungkin akan bertanya-tanya: “mengapa Muslim Rohingnya disebut sebagai, ‘Muhajirin Abad Ini’”? Pertanyaan tersebut bisa dijawab sebagai berikut: Antara keduanya memiliki persamaan meskipun setting tempat dan waktunya berbeda.
Persamaannya dapat dilihat dari poin-poin berikut: Pertama, mereka sama-sama terusir dari tanah kelahirannya. Kedua, sebabnya pun karena perbedaan latar agama. Ketiga, nasib yang dialaminya pun tak jauh berbeda. Mereka diintimidasi, dikucilkan, dihinakan, dan dipersempit ruang geraknya sehingga tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh dakwah di sana.
Masalahnya kemudian ialah, siapa yang siap menjadi kaum Anshar (Penolong) bagi mereka? Apakah kita tega, baik dari sisi kemanusiaan maupun agama melihat orang dibantai, diusir sedemikian rupa dari negeri asalnya hanya karena latar agama? Kemana gaung PBB? Kemana orang-orang yang selalu mendewa-dewakan HAM (Hak Asasi Manusia)? Bahkan kemana umat Islam, di saat ‘kaum muhajirin Rohingnya’ membutuhkan pertolongan? Kalau negara Turki sudah berada di garda depan dalam membantu mereka, lalu aku, kamu, kita –sebagai Muslim- kapan menjadi ‘Anshar’ mereka?
Bukankah Muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh, satu bangunan? Kalau kesadaran sebagai Muslim telah tanggal, lalu tidakkah pintu hati kemanusiaan kita terketuk melihat mereka mengalami nasib tidak manusiawi seperti itu?. Wallahu a`lamu bidzātis shudūr.*
Penulis alumni PKU UNIDA Gontor, peminat masalah Shirah