Oleh: Mochamad Fauzie
APA yang Anda pikirkan ketika melihat pria atau wanita dengan celana jins low-rise tepat membelakangi Anda dengan menampakkan belahan pantat?
Berbagai bentuk reaksi atau pendapat dapat terjadi atas pemandangan tersebut. Tetapi suka atau tidak suka, hal itu telah menjadi pemandangan yang sering kita jumpai sejak beberapa tahun belakangan ini. Bahkan sampai dengan awal tahun ini, sebuah media online masih mencatat, bahwa kecenderungan memamerkan belahan pantat baru saja menggeser kecenderungan mengekspos belahan dada di kalangan selebriti wanita, maka tampaknya masih akan berlangsung lebih lama. Apa yang sejatinya terjadi?
Celana jins adalah produk fashion. Fashion, secara kamus adalah gaya, ragam, model, mode, cara membentuk atau cara membuat. Dalam batasan yang sederhana adalah sesuatu yang dikenakan seseorang, yang menunjuk pada pakain, gaun dan lain-lain yang dikenakan dan berpeluang untuk difetiskan. Fetis adalah setiap obyek yang di dalamnya dianggap bersemayam roh atau kekuatan tertentu, sehingga menimbulkan pengaruh magis dan daya pesona dan rangsangan seksual tertentu. Benda fetis akan mendorong orang untuk tarjangkit fetisisme, ialah sikap menganggap adanya kekuatan, ruh atau daya pesona tertentu yang bersemayam pada obyek tertentu (Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Bandung: Matahari, 2011, h. 21)
Kata ‘jins’ sejatinya menunjuk pada bahan denim berwarna biru yang dikenal sejak abad ke-18. Karena bahannya tidak mudah sobek, jins dijadikan celana panjang untuk para buruh dan pedagang saat bekerja. Satu abad kemudian, Levi Strauss menjadikannya sebagai bahan celana yang kemudian dipatenkan pembuatannya dengan nama genre: jins (jeans). Sejak saat itu jins menjadi pakaian sehari-hari semua orang dari semua pekerjaan dan usia.
Tahun 1930-an jins sangat popular di kalangan para koboi (penggembala sapi). Pada masa Perang Dunia II, para serdadu Amerika gemar memakainya ketika tidak bertugas. Sejak tahun 1950-an, jins menjadi sangat populer karena dipicu popularitas penampilan James Dean dalam film-filmnya. Tren kembali bergulir di tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, gaya hidup menggelandang ala Hippy menciptakan kreasi baru; gadis-gadis hippy suka mengenakan jins yang dihiasi dengan sulaman atau lukisan cat. Di akhir 1970, dunia dikejutkan dengan penampilan aktris Brooke Shields yang menjadi model jins produksi Calvin Klein.
Tetapi jins baru benar-benar diakui sebagai bagian dari fashion sejak 1980-an, sejak banyak perancang terkenal – seperti Armani, Klein dan Versace – mengangkat jins sebagai bahan yang bisa tampil sama anggunnya dengan bahan pakaian lain yang mahal. Kini orang bahkan mengenakan jins untuk berbagai kesempatan, termasuk saat bekerja di kantor.
Dewasa ini teridentifikasi terdapa 8 macam model jins. 1) Straight cut jins, potongan atasnya berhenti di pinggang dan agak ketat di bagian pantat dan paha. 2) Boot-cut atau flare-cut, potongan atasnya juga berhenti di pinggang, tetapi longgar di bagian kaki (dari lutut ke mata kaki). 3) Wide leg, berpotongan lebar dari bokong sampai mata kaki; tidak memperlihatkan siluet tubuh sama sekali. 4) Skinny, melekat ketat dari atas hingga bawah mata kaki. 5) Cropped, memiliki bagian kaki yang terpotong. 6) Boyfriend, jins untuk remaja pria, berpotongan gombrong dari atas sampai bawah. 7) High Rise, berpotongan high-waist, dimulai dari atas pinggang. 8) Low rise, ini dia model yang kita bicarakan; berpotongan rendah, bermula tepat di tulang pinggul; didesain untuk dikenakan oleh orang yang berpinggang pendek, berpantat besar dan berpanggul besar.
Pada kenyataannya, model low-rise bukan hanya dikenakan oleh wanita berpanggul besar. Hari ini sangat mudah kita jumpai perempuan yang mengenakan jins model ini.
Keputusan seseorang untuk mengenakan jins low rise termasuk ke dalam gaya hidup, yakni tata cara, atau cara menggunakan barang, tempat dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu sebagaimana didefinisikan David Chaney, khususnya menunjuk pada gaya hidup trendy atau dapat berdaur-hidup (life-cycle), artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut dan mati. Saat ini, jins low rise sedang dalam masa puncak popularitasnya dan tampaknya masih akan bertahan selama beberapa tahun lagi.
Simbiosis fashion dengan pornografi tidak dapat dilepaskan dari sistem yang kondusif terhadap berkembangnya pornografi dan eksploatasi perempuan di dalamnya. Di antara sistem yang kondusif tersebut adalah sistem (budaya) kapitalisme. Di dalam sistem ini, tubuh – dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi, dan artificenya – menjadi elemen sentral ekonomi politik, disebabkan tubuh (estetika, gairah, sensualitas, erotisisme) merupakan alasan mendasar setiap produksi barang dagangan. Tubuh itu sendiri terutama tubuh perempuan, menjadi komoditi sekaligus metakomoditi, yaitu komoditi yang dipakai untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya (model, hostess, sales girl, cheers leader, peep show), lewat potensi fisik, tanda dan libidonya (Piliang, 2011: 291).
Dimaknai dengan semiotika (ilmu tentang tanda) Saussure, jins model low rise dapat dipandang sebagai satu totalitas ‘penanda’ yang terbangun dari unsur-unsur yang tampak, teristimewa adalah penonjolan belahan pantat (bokong). Secara denotatif, jins low rise dengan faktual mempertontonkan belahan pantat. Sedangkan pemaknaan secara konotatif dapat diasosiasikan dengan sikap melecehkan atau menghina penghilat yang berada di belakang orang yang mengenakan jins. Tampaknya terdapat muatan pemberontakan terhadap tatanan norma, karena mempertontonkan belahan pantat bukanlah sikap yang lazim dalam masyarakat, lebih-lebih masyarakat Indonesia.
Pemberontakan patut diduga pula sebagai gerakan yang dilatari oleh gerakan legalisasi anal seks yang kini mulai terjadi di sebagian negara di Eropa (Barat). Dalam rangka mendukung legalisasi penyimpangan seksual tersebut, fashion sangat mungkin diperalat untuk mengubah nilai atau citra terhadap dubur ketika diperlihatkan: dari yang semula menjijikkan – sebagai saluran pembuangan tinja – menjadi merangsang gairah seksual.
Sikap kapitalisme terhadap tubuh, sebagaimana dinyatakan Yasraf Amir Piliang (2011: 299), adalah menghancurkan berbagai pembatasan dalam penggunaan tubuh; menanggalkan berbagai selubung penutupnya (ketelanjangan); mengkspos berbagai rahasianya (kecabulan); merayakan berbagai organ dan komponen tandanya. Singkatnya, kapitalisme menciptakan ruang yang terbuka luas bagi pembiakan budaya porno.
Kapitalisme tidak mau tahu tentang bagaimana menjaga nilai-nilai atau norma-norma. Ia hanya berkepentingan bagaimana mengeruk modal dari perilaku manusia, kemanapun arah, akibat dan dampaknya. Ingatlah itu.*/Bogor, Shafar 1435/ Desember 2013
Penulis adalah Sarjana Pendidikan Seni Rupa, mahasiswa S2 Desain, dan dosen pada Program Studi Desain di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.