“SAYA terima nikahnya … binti … dengan maskawin … dibayar tunai.”
Demikian salah satu redaksi ucapan qabul pada sebuah acara ijab qabul dalam pernikahan. Sebagaimana jamak diketahui, akad qabul tersebut tentu wajib diucapkan oleh setiap calon mempelai pria (termasuk penulis).
Di hadapan kedua saksi dan seorang penghulu, akad itu adalah jawaban pernyataan ijab dari calon bapak mertua atau wali mempelai wanita.
Alhamdulillah, waktu itu, 1 Safar 1437 Hijriyah bertepatan dengan Sabtu, 14 Nopember 2015 merupakan hari bersejarah bagiku dan perempuan yang kini telah resmi menjadi bidadariku dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Dan semoga ia pula yang akan menjadi bidadariku di Surga-Nya, Aamiin.
Di usiaku yang ke dua puluh delapan tahun itu, tentu, zaman sekarang bisa dibilang terlambat untuk menunaikan ibadah separuh agama ini.
Pasalnya, seperti jamak diketahui, saat ini nikah dalam usia dini (muda) sudah banyak sekali terjadi di negeri yang mayoritasnya muslim ini.
Seperti apa yang pernah disampaikan salah satu penghulu dalam khutbah nasehat penikahan yang pernah kuhadiri di Kantor Urusan Agama (KUA), sebagai salah satu persyaratan dalam proses pernikahan yang harus kupenuhi.
“Di kota ini, angka perceraian cukup tinggi. Salah satu faktor terbesar penyebab kasus itu adalah pernikahan dini, di mana kedua pasangan yang masih tinggi tingkat labilitasnya dalam mengontrol diri. Akibatnya terjadi percekcokan yang berujung pada perceraian. Dan bahkan, tak sedikit yang menggunggat cerai adalah pihak mempelai wanita,” demikian kurang lebih redaksi tutur sang penghulu.
Tentu, pernikahan di usiaku seperti itu, bukan saja hendak menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk seperti kasus-kasus tersebut. Tetapi, lebih kepada upaya mempersiapkan diri menjemput jodoh sebagaimana memilih kriteria pasangan hidup yang disebutkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa-salam dalam salah satu sabdanya.
Adalah agama (calon pasangan,red) menjadi salah satu kriteria prioritas bagi setiap muslim ketika hendak memilih dan menetukan seorang istri ataupun suami.
Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata, Nabi Muhammad bersabda, “Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara yaitu sebab hartanya, kedudukannya, kecantikannya atau agamanya. Pilihlah yang beragama, maka engkau akan beruntung, (jika tidak, semoga engkau) miskin.”.
Perlu diketahui, agama di sini tidak cukup sekadar memeluk Islam, tetapi lebih dari itu yakni meliputi keluasan ilmu umum dan agama, ketaatan menjalankan segala perintah-Nya, keistiqomahan meninggalkan segala larangan-Nya, baik akhlak serta santun tuturnya dan sebagainya.
Jika kita ingin mendapatkan pasangan hidup yang shaleh dan shalehah dengan kriteria seperti di atas, tentu sangat wajib kiranya kita juga harus mempersiapkan diri untuk menjemput ‘jodoh’ yang demikian itu.
Aku pernah mendengar sebuah pernyataan, “Jodoh (istri atau suami) itu merupakan cerminan dari diri kita sendiri.” Dari pernyataan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kalau ingin mendapatkan jodoh yang shaleh dan shalehah maka, wajib kiranya untuk menshaleh dan menshalehahkan diri lebih dulu.
Itulah langkah yang bisa kita lakukan untuk menjemput jodoh yang terbaik (mulai dari agama, keturunan, fisik sampai kekayaannya). Aku pun teringat dengan perkataan seorang motivator, “Jemputlah jodoh terbaik Anda dengan mempersiapkan diri aAnda menjadi pribadi yang terbaik juga.”
Dan pastinya, terbaik dalam konteks ini adalah ketaatan dan kepatuhan kepada Sang Khalik yang menciptakan alam semesta yaitu, Allah Azza Wa Jalla.
Baru setelah itu, dianjurkan untuk melihat keturunan, kekayaan serta fisik ataupun parasnya –yang kini justru kebanyakan menjadi prioritas muda-mudi zaman sekarang– dalam memilih dan menentukan pasangan, tanpa mau memperhatikan prioritas utama yang diperintahkan oleh Rasulullah.
Murah tapi tak mudah
Sebelum ini, aku selalu dibenturkan dengan berbagai pertanyaan yang sama.
“Kapan mau menikah…?”
Apalagi, sebuah pertanyaan sebagaimana yang tertulis tepat di atas satu paragrap ini, seringkali mencuat dari bibir teman, sahabat, saudara bahkan orangtuaku sendiri.
Pernah ada pula yang melontarkan kalimat begini, “Kamu sudah waktunya menikah lho, Rasulullah saja menikah di usianya yang kedua puluh lima. Sementara, kamu sekarang sudah dua puluh delapan tahun…”
Duh…, mendengar pertanyaan itu, sakitnya tuh di sini hehehe! */Obby el-Madina