Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Menumpas PKI
Menjelang peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965, NUM terlibat dalam kegiatan ekstra sejak tahun 1964. Pimpinan-pimpinan NUM mengikuti kursus-kursus kader revolusi dan kursus kader lain-lainnya. Secara khusus sekitar bulan November 1964, NUM menyelenggarakan latihan sukarelawati bertempat di pusat pendidikan HANSIP PUSAT di Jalan Salemba Raya dan diikuti oleh pimpinan Muslimat dan Fatayat NU se-Indonesia, dengan pimpinan latihan Ny. Saifuddin Zuhri dan pimpinan asrama Ny. Chadidjah Imron Rosjadi. Dalam latihan ini, selain mendapat pelajaran kemiliteran seperti baris berbaris, pelajaran menggunakan senjata (latihan tembak di lapangan tembak Cibubur), bongkar pasang senjata dengan mata tertutup, dan lain sebagainya (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979:67).
Pada 2 Oktober 1965 NUM menyatakan sikapnya atas peristiwa Pemberontakan 30 September. Mereka mengutuk pelaku-pelakunya sebagai pengkhianat dan meminta pemerintah menindak pelakunya. Kemudian pada5 Oktober 1965, NUM diwakili oleh Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim menandatangani pernyataan PBNU yang isinya mengutuk pengkhianatan G 30 S PKI. Lebih dari itu, Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim meminta agar menindak dan membubarkan PKI beserta mantel organisasinya. Pada bulan Oktober, NUM juga membuat pernyataan agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) membubarkan Taman Kanak-Kanak “Melati” (milik Gerwani) dan supaya Pemerintah mengambil alih TK itu. Usul NUM itulalu disetujui oleh Menteri P&K dan didukung Kongres Perempuan Indonesia (KOWANI).
Pada 8 November 1965, perempuan ibukota yang tergabung dalam front pancasila menyelenggarakan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan mantel organisasinya. Seperti diketahui, seksi perempuan Front Pancasila dipimpin Ny.H.Asmah Sjachruni dari NUM dan Ny.Arudji Kartawinata dari perempuan PSII. Ny.H. Asmah Sjachruni juga menjadi salah satu pimpinan di Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia (KAWI). KAWI telah melakukan gerakan “Perjuangan Hanura” dengan TRITURA-nya yaitu: bubarkan PKI, bubarkan kabinet, dan turunkan harga. KAWI akhirnya bubar seiring tuntutan prinsipil terwujud, dan semua anggota serta pimpinannya kembali ke induk organisasinya masing-masing (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979:68-69).
Menentang Penyimpangan RUU Perkawinan
Atas inisiatif Ny. Sumari dkk., pada tahun 1957, diajukan kepada DPR sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan. Usui ini oleh fraksi NU dan fraksi lainnya ditentang karena isinya secara keseluruhan dianggap menyimpang dari hukum-hukum perkawinan yang telah diatur dalam Islam. Ny.H.Machmudah Mawardi dari fraksi NU dan Ny. Sunaryo Mangunpuspito dari fraksi Masyumi tampil sebagai juru bicara yang menolak usul tadi. Sementara itu Ny. Sutiyah dari PNI dan Umi Sarjono dari PKI mendukung RUU Perkawinan tersebut. Akhirnya RUU perkawinan usulan Ny. Sumari dkk. itu berhasil dikandaskan.
Upaya-upaya menggulung Hukum Islam di tanah air tak pernah surut. Termasuk kembali melalui UU Perkawinan. Sewaktu DPR hasil pemilu 1971 membicarakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah (Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali), kembali organisasi perempuan mengalami pergolakan antara yang pro dan kontra. RUU ini oleh umat Islam dinilai memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam (mengubah hukum Islam) dan membuat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan laki-laki dan perempuan dapat hidup bersama di luar pernikahan.
Fraksi PPP dalam DPR tampil dengan juru bicaranya Ny. H. Asmah Scahruni (Ketua Umum PP NUM) sebagai pihak yang menentang RUU tersebut, sedangkan Golkar dengan juru bicara Ny. Nelly Adam Malik mendukung RUU ini.
Keputusan akhir dari perdebatan ini adalah diterimanya RUU Perkawinan tersebut setelah seluruh pasal yang bertentangan dengan agama Islam disesuaikan dengan hukum yang sah (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979:70-71). Setelah diterima, maka lahirlah UU No.1 tahun 1974 atau dikenal dengan nama Undang-Undang Perkawinan. Keberhasilan lahirnya UU Perkawinan yang direvisi ini tentu saja buah kerja keras, termasuk dari Muslimaat NU (Aisyah Hamid Baidlowi,1993:88).
Memajukan Pendidikan
NUM telah mendirikan “Yayasan Pendidikan Muslimat”. Programnya meliputi pendidikan formal dan pendidikan non formal. NUM mendirikan Sekolah Taman Kanak-Kanak di setiap ranting. Muslimat NU memandang taman kanak-kanak adalah lembaga pendidikan yang pertama membimbing dan membina rohani dan jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun secara sistematis.
Karena peran guru TK sangat diperlukan pada saat itu, dirasa perlu mencetak guru TK Muslimat NU yang memenuhi syarat untuk dapat menjangkau perkembangan TK selanjutnya. Pada tahun 1951, PP Muslimat NU mengadakan kursus Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak bertempat di Surakarta, Jawa Tengah dan diikuti oleh cabang-cabang yang berminat, dengan tugas belajar selama 1 tahun.
Setelah selesai, mereka menerima ijazah sebagai guru TK yang memenuhi syarat. Kursus tersebut telah membawa manfaat besar bagi kehidupan TK muslimat NU. Mereka yang telah pulang membawa ijazah, langsung mengembangkan berdirinya TK di cabangnya masing-masing dan mengadakan kursus kader guru TK, yang diikuti oleh anak cabang dan ranting-ranting setempat. Dengan demikian berkembanglah sekolah TK-TK Muslimat NU sampai di ranting-ranting yang tersebar di pelosok tanah air. Untuk mengadakan keseragaman mata pelajaran TK Muslimat NU, PP Muslimat menyusun kurikulum dan dibentuklah ikatan guru tk muslimat yang disingkat igtk sampai di daerah-daerah. Sedangkan gedung sekolah diwuujudkan dengan gotong royong baik melalui pembangunan gedung TK itu sendiri, maupun dari anggota muslimat yang merelakan sebagian ruangannya untuk belajar. Bagi wilayah/cabang yang telah mampu, mereka mendirikan sekolah kejuruan.
Pendidikan non formal tak luput dari kerja keras Muslimaat NU. Mulai dari pemberantasan buta huruf Arab dan latin serta keterampilan. Pada tahap pertama kursis pemberantasan buta huruf arab dan latin mengalami hambatan, karena kurangnya minat ibu-ibu rumah tangga untuk belajar membaca dan menulis.
Namun berkat kerajinan ibu-ibu guru mengaji, maka pemberantasan buta huruf arab maupun latin sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Pada umumnya para peminat datang ke pondok puteri di mana guru mengaji perempuan tinggal. Sadarakan akan pentingnya pemberantasan buta huruf ini, maka tidak sedikit para guru mengaji yang masih muda mendatangi para kelompok keluarga secara rutin, atas kehendak keluarga yang bersangkutan.
Kursus keterampilan juga digalakkan. Mulai dari, menjahit, menyulam dengan tangan maupun mesin, merangkai bunga segar, bunga kering, dan janur, memasak, merias pengantin, dan lan-lain. Bagi ibu-ibu yang berpenghasilan rendah, kursus keterampilan tersebut sangat berharga, karena sedikit banyak bisa menambah pemasukan untuk keperluan rumah tangga (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979 : 133-135).* (BERSAMBUNG)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)