Oleh: Bambang Galih Setiawan
HAMKA atau H. Abdul Malik Karim Amrullah yang merupakan seorang ulama, juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan Nusantara. Semasa hidupnya ia memberikan perhatian khusus terhadap budaya, dengan banyak berkiprah dan terlibat dalam lembaga dan kongres kebudayaan nasional, serta minatnya pada bahasa yang banyak tertuang dalam karya-karyanya yang mengandung sastra dan cita rasa istimewa. Karena kesenangannya kepada kebudayaan, HAMKA bahkan pernah berkata “Dalam politik tangan saya pernah terbakar, namun dalam kebudayaan hati saya terobat, luka saya terdamak.”
“Pentingnya permasalahan bahasa dan budaya bagi HAMKA, sehingga ia menyeru dan mengingatkan kepada angkatan muda atau para generasi selanjutnya, untuk memperhatikan dan menangani masalah ini. Sebab bahasa dan kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat terkait dan berperan strategis dalam kehidupan dan dakwah umat Islam.” [Ceramah Hamka pada Symposium Kebudayaan Islam di Taman Islamil Marzuki (TIM), 4 Desember 1979 dalam Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarip Are Saimima, Kebangkitan Islam dalam Pembahasan, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980, hlm. 69]
Dalam Seminar Sejarah Riau, di Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru, 20-25 Mei 1975. HAMKA menyerukan kepada para angkatan muda, agar mereka tidak meninggalkan huruf pusaka Islam di Tanah Melayu, yaitu huruf Jawi, huruf Melayu atau huruf Pegon:
“Dan kepada sarjana-sarjana Angkatan Muda di Riau baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, jangan diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di Malaysia di disebut Huruf Jawi, sedang di Indonesia di disebut huruf Melayu. Kasihan huruf pusaka Islam itu, Indonesia menolak Melayu, Malaysia menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Fansuri digali oleh Doorensbos, Syamsuddin Sumantri digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak sampai ke sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana Barat itu.” [Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.174. ]
Huruf Melayu atau Jawi bagi HAMKA merupakan pusaka yang mengandung kekayaan terhadap kebudayaan dan identitas asli di Nusantara. Melalui bahasa, yang tertuang dalam tulisannya, seseorang akan bisa saling terhubung dan memahami makna dan maksud dari setiap pernyataan atau tulisan yang dikeluarkannya, sehingga akan didapatkan keseragaman pemikiran dan rasa. Kurangnya perhatian angkatan muda saat ini untuk menjaga dan melestarikan huruf Melayu yang merupakan pokok dari bahasa dan budaya Nusantara, diperuncing dengan ketidak satuan antara negara-negara yang dahulu terjalin dalam satu rumpun Melayu. Maka semakin terputuslah sanad atau ketersambungan ilmu dan identitas keagamaan dan budaya di Nusantara, sebab sangat sedikit yang sadar dan membelanya. Padahal para pendiri dan nenek moyang mereka dahulu satu keturunan dan berkeluarga, mereka berinteraksi dan menulis banyak karya melalui bahasa Melayu atau huruf Jawi tersebut.
Banyak dari karya dan pemikiran ulama serta tokoh-tokoh asli tanah Melayu, yang akhirnya diteliti dan dikaji oleh para orientalis atau angkatan muda Barat. Mereka kemudian menerjemahkan dan menafsirkan tulisan-tulisan tersebut melalui kebudayaan, kepentingan dan pandangan hidup mereka. Yang hal ini kemudian diambil dan kita terima secara latah sebagai penafsiran dan kebudayaan asli milik kita. HAMKA menuliskan bagaimana pola dan kebiasaan yang dilakukan para kolonialis:
“Bangsa-bangsa yang menjajah kita, meskipun menyelidiki kebudayaan dan filsafat kita, itu hanya untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan kita. Sungguhpun demikian, sekali-kali dikirim Tuhan juga orang-orang besar, untuk menunjukkan bahwa api itu belum mati.” [Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 15]
Kemajuan bahasa menandakan kemajuan akal dan ilmu bangsa yang mempunyai bahasa tersebut. Menurut HAMKA, bahasa Melayu menjadi maju ialah sejak zaman kerajaan Melayu Malaka, pertengahannya ialah zaman pengarang Abdul Kadir Munsyi. Sehingga usia bahasa Melayu telah sangat tua dan dipakai oleh para nenek moyang di Nusantara selama ratusan tahun lamanya, untuk mengikat persatuan dan menanamkan nilai-nilai pandangan hidupnya. Namun bahasa ini kini sudah sangat asing dan tergerus oleh bahasa dan budaya yang datang setelahnya. Generasi muda saat ini pun lebih kenal dan merasa bangga dengan bahasanya yang terpengaruh dengan modernisme dan gaya hidup Barat, serta yang didiktekan oleh kaum Katholik di Indonesia. Akhirnya secara perlahan bahasa Melayu hilang dan bahasa Indonesia mulai berubah, membentuk istilah dan makna baru dalam keseharian serta pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini menurut HAMKA dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, kemudian melupakan jati dirinya:
“Sebagaimana terpandang hina dan terpencil dari masyarakat orang yang meninggalkan bahasa ibunya atau bahasa tanah airnya yang dengan dia lidahnya lebih sanggup menerangkan segala perasaan hatinya, lalu meminjam bahasa dan logat orang lain semata-mata karena hendak menjadi megah, maka lebih terpandang hina lagi manusia yang melebihi daripada kekuatan dan kesanggupannya, atau memilih yang sebenarnya bukan pakaiannya.” [Hamka, Sejarah Umat Islam Pertama, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 103]
Pada Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954 telah diambil keputusan bahwa “Bahasa Indonesia adalah berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu”, sehingga menurut HAMKA pemakaiannya, pramasastranya, kaidahnya, tetap harus menurut bahasa Melayu, tidak boleh ditambah atau dirubah. Oleh sebab itu ketika para pemuda bersumpah “berbahasa satu, bahasa Indonesia” pada tahun 1928, hal tersebut bukanlah untuk membuat atau menciptakan suatu bahasa baru, melainkan memberi nama yang baru bagi bahasa yang telah terpakai beratus tahun di “gugusan pulau Melayu” dan “Semenanjung Tanah Melayu” atau di seluruh Nusantara ini. Maka untuk kesatuan politik perjuangan kemerdekaan di tanah yang dijajah Belanda, yang mereka namai “Hindia Belanda” dibuatlah nama “Indonesia”. Rakyatnya dinamai rakyat Indonesia, meskipun mereka terdiri dari berpuluh suku bangsa. Dan bahasa yang telah beratus tahun dipakai sebagai bahasa perhubungan, ditukar pula namanya menjadi bahasa Indonesia, untuk wilayah Indonesia. Sebab sampai kini di luar wilayah Indonesia, seperti di Malaysia, atau di Selatan Siam, atau di kalangan keturunan Melayu di Kamboja dan Sri Langka, bahasa itu masih tetap bernama bahasa Melayu.
Sejak dahulu orang asing menamai negeri-negeri ini “Gugusan pulau-pulau Melayu” atau “Malays Archipelago”. Selain dari kemungkinan dititik dari ilmu asal usul bangsa yang disebut “Melayu Tua” dan “Melayu Terakhir” ada lagi kemungkinan lain yang menyebabkan pulau-pulau itu dinamai gugusan pulau Melayu. Ialah karena bahasa Melayu yang dijadikan penghubung diantara pulau-pulau, baik yang besar ataupun yang kecil sejak ratusan tahun. Dan banyak terdapat bahasa-bahasa lain, yang terkadang pemakaiannya cukup banyak dari bilangan bangsa Melayu sendiri. Seperti bahasa Jawa. Namun orang Jawa sendiri jika hendak berhubungan misalnya dengan orang Aceh, harus memakai bahasa Melayu juga. Maka di bandar-bandar besar dahulu, sejak dari Palembang, Jambi, Malaka, Pasai, Betawi, Johor, Banda, Makassar dan lain-lain, bahasa Melayulah yang menjadi bahasa hubungan politik raja-raja.
Menurut HAMKA, Kerajaan Sriwijaya sebagai Kerajaan Melayu tertua telah tumbuh sejak abad keenam masehi dan memakai bahasa Melayu, pada abad lahirnya Rasulullah Muhamammad Saw. Prasasti-prasasti Kadukan Bukit dan Tulang Tua setelah dipelajari memakai bahasa Melayu di zaman itu. Bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab, dan dipahatkan di batu, ialah “Batu Bersurat Trengganu” yang ada di dalam museum Kuala Lumpur.

Perkembangan bahasa sekarang yang dinamai Bahasa Indonesia, adalah dari bahasa Melayu klasik yang ditulis oleh ulama-ulama Islam. Sejak Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsji. Dan bahasa itu kemudian ditulis dalam huruf Arab-Melayu, huruf Jawi atau huruf Pegon, yang menjadi huruf kesatuan bangsa. Wali Songo juga memberikan sumbangan yang banyak sekali pada filsafat Jawa, bahkan ke dalam wayang sekalipun. Mangkunegara keempat memberi orang Jawa nyanyian dalam jiwa tasawuf Islam.
Prof. Dr. Snouck Hurgronje dan Prof. Dr. Husain Jayadiningrat sampai kagum dengan perkembangan sastra agama yang berada Aceh, terutama sastra pada abad ketujuh belas sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Sulthanah Shafiyatuddin.
Di Zaman raja-raja besar itulah timbul ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar memakai bahasa Melayu dalam soal-soal agama Islam, Tauhid, Tafsir, Fiqih, Tasawwuf dan Filsafat. Waktu itulah hidup ulama-ulama pengarang besar, seumpama Syaikh Aminuddin Abdurrauf bin Ali al Fanshuri ahli tafsir, fiqih dan tasawuf. Syaikh Nurudiin ar Raniri ahlu fiqih, tasawuf dan sejarah. Syamsuddin Samatrasi, Hamzah Fansuri, khusus ahli syair. (BERSAMBUNG)
Penulis, Mahasantri Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Solo