Untuk memahami al-Qur’an, Muslim memerlukan tafsir, bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah Al-Quransebagai Kalam Allah
Sambungan artikel Pertama
Oleh: Dr. Ugi Suharto
Hidayatullah.com | KITA tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh Al-Quranitu sendiri. Jadi Al-Quranlah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible.
Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi.
Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks “sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri,” atau “to understand the author better than he understood himself.” Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.
Adapun al-Qur’an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami Al-Quranlebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah ﷺ? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur’an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah Al-Quransebagai Kalam Allah.
Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta’wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta’wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta’wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur’an. Jadi sebagai suatu istilah, ta’wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.
Al-Jurjani (w. 816/1413), misalnya, dalam kamus istilahnya yang terkenal, Kitab al-Ta’rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan ta’wil sebagai berikut:
Ta’wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara’ ia bekmakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan [semangat] Kitab dan Sunnah.
Contohnya seperti firman Allah “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati” (al-Anbiya’: 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta’wil.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ta’wil itu lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta’wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks Al-Quransebagai Kalam Allah. Tegasnya, “textual criticism” untuk Al-Qurantidak ada dalam tradisi Islam.
Oleh sebab itu, dalam hal ini, tetap tidak bisa disamakan antara tafsir ataupun ta’wil dengan hermeneutika yang berangkat dari “textual criticism” pada Bible. Sebuah buku hermeneutika terbitan Kanisius Yogyakarta, misalnya, sempat menyamakan Al-Qurandengan Bible dan kitab agama yang lain, dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeneutika. Penulis buku tersebut mengatakan:
“Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik.” (Lihat E. Sumaryono, Hemeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1999).
Pendapatnya yang mengatakan bahwa Al-Quranadalah “karya yang mendapat inspirasi Ilahi” seperti juga Bible, jelas tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Orang-orang Islam tidak pernah memahami bahwa Al-Quranitu sebuah “karya” sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami karya tersebut.
Sebaliknya, pemikiran itu datang dari kaum Orientalis yang mengecoh kaum Muslimin agar menganggap bahwa Al-Quranitu karya Muhammad dan menyatakan bahwa Islam juga agama buatan Muhammad alias Muhammadanism.
Padahal orang-orang Kristen sendiripun, yang masih mempunyai masalah dengan teks-teks Bible, tidak pernah mengatakan bahwa Injil itu karya Nabi Isa.
Jadi, tradisi tafsir dalam Islam tidak sama dengan tradisi hermeneutika dalam Kristen. Seorang sarjana Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika:
“Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in /slam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999).
Singkatnya, hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bible itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur’an, sehingga apa yang hilang pada Bible dapat ditemukan dalam al-Qur’an.
Kembali kepada makna istilah hermeneutika, seperti yang dinyatakan sebelum ini, perpindahan makna hermeneutika dari ruang lingkup teologi kepada ruang lingkup filsafat dibidani oleh filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri ‘hermeneutika umum’ yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian.
Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher. “He founded general hermeneutics for theological reasons.”
Schleiermacher yang Protestan sudah tentu tidak setuju dengan interpretasi-interpretasi Katolik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan lembaga kepausannya. Baginya interpretasi Protestan terhadap Bible itu lebih mendekati ajaran Nabi Isa yang sebenarnya.
The theological concerns that made Schleiermacher undertake the project of general hermeneutics are made very clear in his: Brief Outline of the Study of Theology. . . .In his work, General Hermeneutics is supposed to supply the basis for a biblical hermeneutics that would make knowledge of primitive Christianity possible, and vindicate Protestant claims to being more faithful to the original teachings of Christ. (op.cit)
Sudah tentu ketika teks-teks Bible menjadi masalah, maka interpretasi-nya pun akan lebih bermasalah. Tidak mengherankan dalam hal ini jika Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai “krisis interpretasi Bible” dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya. Dia katakan:
Hermeneutics, the study of proper means of text-interpretation, is not the cause of the current biblical studies, rather it may point indirectly to some ways out of this crisis. (Lihat Yusuf Rahman. The Hermeneutical TheoryofNasr Hamid Abu Zayd (Ph.D. Thesis. McGill University, 2001).
Ketika hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada.
Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.
Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur’an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain?
Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur’an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam “school of thought” tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.
Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer.
Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis.
Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut “hermeneutic circle”, yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa “jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan.”
Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur’an, maka selama-lamanya Al-Qurantidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.
Hermeneutic circle: The problem in the process of interpretation that arise when one element, for instance in a text, can only be understood in terms of the meanings of others or of the whole text, yet understanding these other elements, or the whole text, in turn presupposes understanding of the original element. Each can only be understood in the light of the others. . . . . The phenomenon has preoccupied German thinkers from Schleiermacher and Dilthey through Heidegger and Gadamer. (Lihat Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Ph lilosophy (Oxford: Oxford University Press, 1994).* (Bersambung)