Manusia yang beriman percaya bahwa batas masa depannya adalah akhirat. Inilah oleh-oleh pendidikan Ramadhan
Oleh: Uus Sugema
Hidayatullah.com | BULAN Ramadhan telah berlalu. Tidak terasa, bulan yang penuh berkah, rahmat dan maghfiroh itu telah meninggalkan kita.
Rasanya baru kemarin pula kita sama-sama mengikuti tarawih pertama berjamaah di masjid. Pintu-pintu neraka kini dibuka kembali dan setan-setan pun dilepaskan dari belenggu-belenggunya.
Sejalan dengan itu kemuliaan-kemuliaan amal yang berlipat ganda dicabut kembali. Pahala Umroh yang tadinya disetarakan dengan Haji dikembalikan sebagaimana mestinya.
Pahala shalat rawatib tidak lagi seperti sholat fardlu. Pahala shadaqoh tidak lagi disamakan dengan zakat. Dan pahala fardlu tak lagi berlipat tujuh puluh.
Seiring dengan gema takbir Idul Fitri, dosa orang-orang yang beriman atas kemurahan Allah dikembalikan bersih dari dosa. Seperti bayi yang baru lahir.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
فَمَنْ صَامَهُ وَاَقَامَهُ اِ يْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلِدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berpuasa dan beribadah malam karena iman dan mengharap akan Allah, niscaya ia keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah).
Dari sinilah, barangkali kita sering mendengar diantara kita saling mengucapkan:
مِنَ الْعَائِدِينَ وَالْفَائِزِيْن وَٱلْمَقْبُولِينَ
“Semoga kita termasuk orang-orang yang dikembalikan oleh Allah (‘pada posisi nol’), orang-orang yang beruntung, dan orang-orang yang diterima amal ibadahnya”.
Syawal: Peningkatan dan Muhasabah
Sekarang kita sudah berada di bulan Syawal, Pada bulan ini kita disunahkan mengerjakan Shaum 6 hari, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka itulah puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim dari Abu Ayyub).
Syaikh Hasbi Ash Shiddiqy dalam bukunya “Pedoman Puasa” mengatakan bahwa diantara faedah mengerjakan puasa sunah selama 6 hari di bulan syawal adalah seperti puasa sepanjang masa, menyempurnakan kekurangan puasa Ramadhan.
Semoga kita tidak melewatkan kesempatan tsb dan juga kesempatan-kesempatan lainnya berupa shaum-shaum sunnah yang dianjurkan kepada kita, semata-mata untuk lebih mendekatkan diri kita kepada-Nya (Taqorrub ilallah) dan bukti aktualisasi hasil riyadlah Ramadhan sehingga semangat ibadah juga perjuangan semakin meningkat.
Tidak ada salahnya bila kita tandai kalender hijriyah kita pada hari-hari Senin, Kamis, tanggal 14-15-16 (hari putih), 1 s/d 8 Dzulhijjah, 9 Dzulhijjah (hari Arafah), 9 Muharram (hari Tasu’a), 10 Muharram (hari Asyura) agar hari-hari tersebut tidak berlalu dalam sepi, tanpa catatan Malaikat mulia yang kelak akan menjadi surat-surat yang berharga di negeri akhirat.
Hari akhirat adalah suatu kepastian yang bakal terjadi. Itulah negeri yang menjadi batas pengembaraan manusia. Walaupun batas itu nampaknya tiada bertepi.
Manusia yang beriman saja yang percaya bahwa batas masa depannya adalah sampai akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak membatasi cita-cita dan harapannya sebatas menjadi dokter atau ahli komputer, orator atau auditor, insinyur atau direktur, jenderal atau admiral, juga pejabat atau konglomerat.
Itu bukan cita-citanya, akan tetapi hanya sekedar wasilah atau tempat kerja buat mempertahankan hidupnya.
Sebab pikirannya menerawang jauh menembus langit menerobos ruang dan waktu hingga ke masa depan yang pualing jauh sekali, yakni negeri akhirat.
Demikianlah memang yang diperintahkan Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qashash 77:
وابتغ فيمآ ء ا تك الله الدار الأ خرة ، ولا تنس نصيبك من الدنيا
“Dan carilah pada apa yang akan dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Orang-orang beriman yang telah menggantungkan cita-citanya di atas langit yang terjauh, tidak akan mudah terpesona oleh tipuan dunia. Bukan berarti ia membenci dan meninggalkan dunia. Ia sadar bahwa kakinya berpijak di bumi.
Bahkan ia sangat sadar sekali bahwa bumilah yang menjadi ajang perjuangannya guna mencapai cita-citanya.
Dengan kesadaran bahwa hidup yang sesungguhnya itu di akhirat, maka kehidupan dunia, sebagaimana dinyatakan Rasul ﷺ adalah sebagai مزرعة الأخرة (ﷺah atau ladang akhirat), tempat menanam kebaikan untuk dituai hasilnya nanti di akhirat.
Jelas sekali bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara bagaimana cara atau corak kita menjalani hidup di dunia saat ini dengan kehidupan kita di akhirat nanti.
Pertanyaannya, cara hidup di dunia seperti apa yang bisa menjamin kebaikan hidup di akhirat kelak?
Tentu saja cara hidup yang sesuai dengan yang telah digariskan oleh Sang Pencipta dunia maupun akhirat dan yang telah dicontohkan utusanNya yakni Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Tegasnya, cara hidup sesuai dengan syariat-Nya.
Dengan demikian bagi seorang muslim, syariat memiliki posisi yang sangat sentral. Ia menjadi panduan dalam berbuat serta tolok ukur dalam menilai baik dan buruk.
Pada sisi lain Allah سبحانه وتعالى mengingatkan, kesadaran bahwa orientasi perjalanan hidup seorang muslim adalah akhirat tidaklah berarti boleh mengabaikan usaha untuk meraih dunia.
Memang, kehidupan yang hakiki adalah di akhirat nanti, tapi hidup yang riil adalah di dunia sekarang ini, sehingga kehidupan dunia tetap harus dijalani dengan sebaik-baiknya.
Aturan hidup Allah سبحانه وتعالى Sang Pencipta Dunia ini mendorong manusia untuk meningkatkan kualitas kepribadian, pengetahuan dan keahlian mereka secara terus menerus guna meraih keberhasilan di segala bidang.
Baik aspek material, mental maupun spiritual, dalam konteks kehidupan individual maupun komunal. Keberadaan Risalah Islam yang diturunkan Allah justru memang untuk mengatur hidup manusia di dunia, bukan di akhirat.
Dan keagungan risalah Islam akan tampak dari tegaknya peradaban unggul yang dibangun oleh manusia-manusia muslim dengan landasan ajaran Islam itu.
Salah besar bila ada seorang muslim menjauhi dunia, yang disebut uzlah, withdrawl (menarik diri) atau apapun istilahnya dengan alasan untuk meraih akhirat.
Sikap eskapis (melarikan diri) seperti itu sama sekali tidak dibenarkan. Itu hanya dalih saja untuk menutupi semacam keputusasaan jiwa yang gagal dalam menghadapi tantangan kehidupan dunia.
Juga sangat berbahaya karena kontra produktif terhadap semangat mewujudkan keunggulan Islam di semua segi. Tanpa disadari, sikap-sikap seperti itu turut memberi andil dalam kemunduran peradaban Islam.
Dalam iklim kompetisi, sikap seperti itu juga tidak mendorong semangat meraih keunggulan. Akibatnya, umat Islam akan terus terpinggirkan di semua lapangan kehidupan dan tertindas kelompok lain. Seperti yang saat ini terjadi. Wallahu a’lam.*
Komunitas Hijrah Jakarta Timur