Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Alwi Alatas
Antara Juni dan November 1981, Pengadilan Revolusi mengeksekusi mati 2.665 tahanan politik, sebagian besarnya dari kalangan Mojahedin Khalq yang sebelumnya sempat berusaha menjatuhkan pemerintah. Pada pertengahan 1983 jumlah yang mati bertambah menjadi 5.000 dan dua tahun berikutnya menjadi 12.500. Ini berdasarkan data yang dikumpulkan oleh kelompok tersebut. Sekitar tiga perempat dari angka itu mati melalui eksekusi, 4% karena disiksa, dan 22% mati lewat konfrontasi bersenjata. Hanya sebagian kecil eksekusi mati yang dilakukan di tempat terbuka. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah anak-anak muda, alumni sekolah menengah dan universitas (Abrahamian, 1999: 129-130).
Bersamaan dengan itu, pemerintah Iran menghidupkan kembali sistem interogasi di penjara dan membentuk sistem pengadilan baru yang sepenuhnya diisi oleh kaum agamawan. Abrahamian (1999: 132-133) kemudian menulis:
Para mullah yang melakukan interogasi dapat melakukan tujuh puluh empat kali cambukan yang berulang tanpa batas sampai mereka mendapatkan “jawaban yang jujur”…. Para tahanan diberikan pertanyaan-pertanyaan. Kalau jawaban-jawaban mereka tidak memuaskan, mereka dapat secara legal dicambuk karena “berbohong”. Secara teori, hukuman ini seharusnya dilakukan setelah hukum pengadilan yang patut menemukan bahwa mereka bersalah atas sumpah palsu. Namun batas antara interogasi dan pengadilan tidak jelas karena para mullah yang sama mengenakan tiga serban yang berbeda – jaksa penuntu, hakim, dan interrogator. Menurut hukum yang baru, para interrogator dengan mandat teologi yang pantas berhak memberi cambukan sampai si tersalah “mengakui kebenaran.”
Penjara-penjara diperluas, dan jumlah tahanan yang ada masih melebihi daya tampungnya. Penjara Evin yang dibangun hanya untuk menampung sekitar 1.500 tahanan pada masa Shah, pada masa Khomeini digunakan untuk menampung 15,000 tahanan. Evin menjadi penjara tempat para tahanan menanti saat-saat diadili, untuk kemudian dipindahkan ke penjara Qezel Hesar atau Gohar Dasht. Kadang tahanan menghabiskan seluruh masa hukumannya di Evin. Sejak pertengahan 1981, saat dimulainya eksekusi dalam jumlah besar, yang menjadi kepala penjara Evin adalah Asadollah Lajevardi yang belakangan dikenal sebagai “Si Penjagal dari Evin”. Ia memimpin penjara itu selama beberapa tahun.
Pemerintah Iran juga menerapkan kembali penyiksaan di penjara untuk mendapatkan informasi dari tahanan dan untuk memperoleh pengakuan kesalahan secara publik (public recantation). Konstitusi Iran yang baru melarang shekanjeh, tetapi membolehkan hukuman fisik melalui Hukum Ta’zir. Keduanya dianggap berbeda oleh pemerintah Iran. (Abrahamian, 1999: 135-138).
Banyak tahanan yang akhirnya dibebaskan memilih menjadi pelarian politik ke negeri-negeri Barat, dan dari mereka didapatkan kesaksian tentang kasus-kasus penyiksaan di penjara ini, dan kadang tentang beberapa petugas di penjara yang terlibat. Para petugas penjara ini biasanya melakukan interogasi dengan penutup kepala, tetapi kadang penutup kepalanya dibuka sehingga wajah mereka dapat dikenali. Di antaranya terdapat wajah yang dikenali oleh sebagian tahanan sebagai Ahmadinejad, yang selama bertugas di penjara menggunakan nama samaran “Golpa” atau “Mirzaiee”. Ketika itu ia merupakan personel intelijen yang ditugaskan di penjara untuk mendapatkan informasi tentang struktur organisasi Mojahedin Khalq. Seorang tahanan bercerita:
“Setelah beberapa hari saya dibawa ke Section 4. Ketika itulah saya disiksa dan diinterogasi oleh ‘Fakoor’, kepala Section 4, dan ‘Golpa’ atau Mahmoud Ahmadinejad…. Setiap kali kain penutup mata saya jatuh setelah dicambuk dengan kabel, saya akan melihat wajah Ahmadinejad bersama dengan beberapa penyiksa lainnya. Setiap kali itu juga mereka akan mengikat kembali kain penutup mata dengan lebih kuat dan melanjutkan cambukannya” (Jafarzadeh, 2007: 13-14)
Tahanan juga disiksa untuk direkam pengakuan bersalahnya, atau kadang disebut sebagai “wawancara”, paling sering dengan cara dicambuk, tetapi ada juga yang diputar lengannya hingga patah, dimasukkan benda tajam di bawah kukunya, disundut dengan rokok, dan ditenggelamkan ke dalam air. Sebagian ada pula yang dimasukkan ke dalam peti mati dalam keadaan ditutup matanya dan hanya dikeluarkan dua kali lima belas menit sehari untuk makan dan buang air. Kadang ini berlangsung selama lebih dari sebulan hingga si tawanan mau memberikan pengakuan bersalahnya. “Sedikit yang menolak wawancara dan tetap waras,” tulis Abrahamian (1999: 139).
Tidak semua tahanan terlibat secara langsung dalam aksi terorisme atau memberontak terhadap pemerintah. Kadang mereka ditahan hanya karena saudaranya merupakan anggota organisasi terlarang, karena menyebarkan media milik organisasi tersebut, atau karena melakukan demonstrasi terhadap pemerintah. Ada juga kalangan pendukung pemerintah serta ayatollah lainnya yang kemudian mengalami nasib serupa disebabkan protes dan penentangannya terhadap kebijakan pemerintah atau karena alasan lainnya, dan ini masih berlangsung sampai era berikutnya selepas Khomeini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Arash Honarvar Shojayee, seorang mullah dan bloger yang menentang pemerintah dan dituduh “menyebarkan dusta” oleh pemerintah Iran sempat diwawancarai oleh International Campaign for Human Rights in Iran (3 Juli 2012). Ia mengaku dipukuli di penjara sampai mengalami epilepsi. Istrinya juga ikut ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Iran.
Seorang ayatollah lainnya, Hossein Kazemeini Boroujerdi, menolak penerapan wilayatul faqih di Iran dan menentang pemerintah Iran serta menyebutnya sebagai “totaliter” dan “diktator yang korup”. Ia melakukan perlawanan lewat ceramah dan tulisan, tetapi kemudian ditangkap, dimasukkan ke penjara Evin, dan mendekam di dalamnya selama lebih dari sepuluh tahun. Sebuah website yang dibuat oleh para pengikutnya untuk menginformasikan tentang keadaan Boroujerdi, yaitu bamazadi.org (8 Oktober 2015) menyebutkan bahwa selama berada di penjara ia mengalami “penyiksaan psikologis, fisik, dan yang berkaitan dengan keluarga”. Empat tahun sebelumnya, PBB (19 Oktober 2011) telah meminta agar Boroujerdi diberi akses kesehatan dan segera dibebaskan. Tapi Boroujerdi tetap mendekam di penjara, tampaknya sampai hari ini. *(BERSAMBUNG)
Penulis buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III